Selamat Datang

Selamat Datang
Lumayan

Cari Blog Ini

Selasa, 10 April 2012

Oleh: Dr. Hermansyah, SH.MHum


MEMAHAMI KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT UU NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PERKEBUNAN DAN UU NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DALAM PRESPEKTIF HUKUM TATA NEGARA
 SERTA IMPLIKASINYA DALAM REGULASI
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM*


* Makalah disajikan dalam seminar Publik “Membumikan Keputusan Mahkamah Konstitusi Tentang Undang-Undang Perkebunan Dan Kehutanan Dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam Untuk Kehidupan Rakyat Dan Lingkungan Hidup Di Kalimantan Barat”, 9 April 2012 Di Hotel Merpati Pontianak.
A.      Pendahuluan:
Sejak hadirnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Mahkamah Konstitusi sudah menjadi salah satu tumpuan masyarakat atau rakyat untuk mengadukan akan ketidakadilan yang sering muncul dalam kehidupan hukum di indonesia. Ketidakadilan yang selalu menyertai ketika suatu produk hukum di lahirkan oleh lembaga legislatif dan eksekutif, dan yang menjadi patokan dan pedoman dalam menentukan ketidakadilan selalu mendasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 sebagai batu uji persoalan tersebut di atas. Sudah banyak peraturan perundang-undangan yang dibatalkan, baik untuk keseluruhannya, hanya pasal tertentu atau kata-kata tertentu yang ada dalam suatu undang-undang karena dinilai bertentangan dengan substansi undang-undang dasar 1945.
Tidak jarang keputusan yang dikeluarkan dinilai oleh banyak kalangan dinilai aneh, kontroversi disamping sesuai dengan kehendak masyarakat pada umumnya, dan keputusan Mahkamah Konstitusi memiliki implikasi yang besar dan fundamental dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, dan jika putusan mahkamah konstitusi ini tidak mendapatkan perhatian dengan seksama oleh para pihak, terutama kalangan eksekutif maupun legislatif, maka persoalan yang menjadi konsen putusan Mahkamah Konstitusi bisa menjadi pelik dalam kehidupan.
Makalah singkat dan sederhana ini bertujuan melihat bagaimana implikasi putusan Mahkamah Konstitusi, terutama dalam bidang pengelolaan sumber daya alam, berkenaan dengan telah diputuskannya uji materi terhadap dua undang-undang yang secara langsung berhubungan dengan sumber daya alam, yaitu putusan terhadap UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan Dan UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Mahkamah Konstitusi (MK)  merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.[1] Keberadaan MK di dalam kekuasaan kehakiman adalah sebagai penjaga konstitusi (the quardian of the constitution atau waakhond van de grondwet), yang diberikan oleh UUD NRI 1945 untuk menyelesaikan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional[2].
MK mempunyai kewenangan sebagaimana dalam Pasal 24C ayat (1) Amandemen ketiga UUD NRI 1945 yang berbunyi :Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada  tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selain keempat kewenangan tersebut, MK juga mempunyai satu kewajiban untuk memeriksa, mengadili dan memutus terhadap pendapat DPR mengenai dugaan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 24C ayat (2) Amandemen ketiga UUD NRI 1945, yaitu "Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar".
Kewenangan dan kewajiban MK ini didasarkan atas gagasan check and balance dalam bentuk control judicial yang dilakukan oleh MK, karena salah satu dari asas negara hukum (rechtstaad) adalah  adanya peran peradilan yang bebas dan tidak memihak untuk memberikan putusan terhadap segala kasus hukum yang terjadi di dalam suatu negara. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara hukum harus menyelesaikan segala persoalan hukum melalui proses hukum, termasuk proses impeachment[3] Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Berdasarkan kelima bentuk putuasan MK tersebut, hanya empat yang berkekuatan hukum mengikat dan secara serta merta langsung dapat dilaksanakan sejak putusan MK telah dinyatakan in kracht van gewijsde tanpa menunggu lagi keputusan dari lembaga negara lainnya. Sedangkan “Putusan” MK tentang adanya dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau oleh Wakil Presiden adalah tidak berkekuatan hukum mengikat, sehingga “Putusan” MK ini masih belum bisa dilaksanakan. [4]
Hukum acara MK mengenal beberapa prinsip putusan yang membedakan Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung yang sama-sama melaksanakan fungsi peradilan, yaitu asas putusan yang bersifat final dan Asas putusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat (erga omnes). Di samping itu, putusan Mahkamah Konstitusi juga bersifat Prospektif.
Putusan bersifat final, artinya putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lagi yang dapat ditempuh[5]. Sedangkan pengertian mempunyai kekuatan hukum mengikat (erga omnes) adalah putusan yang akibat hukumnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Putusan MK bersifat erga omnes mengikat secara obligatoir bagi seluruh organ negara, baik tingkat pusat dan daerah serta semua otoritas lainnya.[6] Sedangkan putusan MK bersifat prospektif dimaksudkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut tetapi diberlakukan kedepan sejak putusan tersebut dibuat.
B.      Implikasi Putusan MK terhadap UU 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Salah satu putusan yang kiranya penting untuk mendapatkan perhatian adalah putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dikatakan penting karena putusan Mahkamah Konstitusi ini menyangkut kelangsungan pengelolaan sumber daya alam (perkebunan) dan kehutanan di Indonesia.
Seperti telah diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi pada hari Senin, 19 Sept 2011
Telah mengeluarkan putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010 yang substansi dasar dari putusn tersebut telah membatalkan pasal 21 and 47 Undang-Undang Perkebunan No.18 Tahun 2004, karena dinilai bertentangan dengan pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945. Pasal tersebut merupakan pasal atau ketentuan pidana yang ada pada UU No. 18 Tahun 2004, yang dalam prakteknya telah menjadi pasal yang ampuh bagi aparat penegak hukum dalam melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang melakukan aktivitas disekitar perkebunan.
Dalam uji materi pasal 21 jo pasal 47 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, penulis diminta oleh pemohon (PILNET) untuk hadir dalam persidangan dalam kapasitas sebagai ahli guna memberikan keterangan bagaimana sesungguhnya posisi pasal pasal 21 jo pasal 47 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan terhadap pasal 18 B UUD 1945.
Dalam memberikan keterangan selaku ahli dalam uji materi tersebut, penulis katakan bahwa kebijakan formulasi pasal 21 jo pasal 47 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan menurut penulis keliru, kekeliruan yang diperlihatkan akan bahwa persoalan yang muncul dilapangan, terutama antara masyarakat dengan pihak perusahaan, merupakan klaim hak yaitu hak yang berasal dari negara dengan hak yang secara antropologis sudah ada pada masyarakat yang ada disekitar hutan yang akan dibukan menjadi lahan perkebenunan, apalagi jika dihubungan dengan keberadaan pasal 18 B UUD 1945 yang telah memberikan pengakuan konstitusional bagi masyarakat adat dengan segala kearifan yang ada, dan menurut penulis hukum dan hak milik adat adalah salah satu kearifan yang ada dalam masyarakat adat, yang memiliki karakteristik khas yang berbeda dengan hukum negara. Dan menurut penulis, dengan masuknya pasal 18 B sebagai hasil amandemen UUD 1945, negara indonesia sacara sadar sudah masuk dalam pluralisme hukum.
Dengan kerangka berfikir tersebutlah penulis katakan bahwa persoalan yang terjadi antara pihak perusahaan dengan masyarakat pada dasarnya merupakan klaim hak antar perusahaan yang memperoleh hak dari negara dengan masyarakat yang memperoleh hak secara defakto antropologis, dan klaim antara hak ini tidak bisa diselesaikan dengan hukum pidana. Karena menurut penulis, hukum pidana baru masuk dan mengambil bagian dalam menyelesaikan persoalan jika kejelasan akan hak sudah ada.
Berkenaan dengan implikasi putusan MK terhadap UU Perkebunan tersebut, sesungguhnya hanya menyangkut keberadaan mereka-mereka yang oleh aparat penegak hukum diperiksa berkenaan dengan pelanggara pasal 21 jo. 47 UU Perkebunan tersebut, dimana pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 manyatakan bahwa: “Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”.[7] Sedangkan pasal 47  menyatakan bahwa:
a.       “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”;
b.       “Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah)”;

Pertanyaan yang muncul berkenaan dengan implikasi dibatalkannya pasal 21 jo. 47 UU No. 18 tahun 2004 adalah bagaimana status hukum masyarakat yang telah ditahan, diperiksa atau yang sudah dihukum baik sebelum maupun sesudah tanggal 19 Sept 2011, terhadap hal ini kiranya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah:
1.       Bahwa semua kasus yang telah diputus oleh pengadilan dan sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka terhadapnya tetap harus menghormati putusan peradilan umum tersebut, hal ini dikarenakan putusan mahkamah konstitusi tidak berlaku surut, artinya setelah tanggal tersebut, maka orang/masyarakat tidak lagi dapat dikenakan pasal 21 jo. 47 UU No. 18 Tahun 2004.
2.       Lalu bagaimana kemudian terhadap kasus dimana sampai dengan tanggal tersebut bulan juga memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap ini ada beberapa hal:
a.     Jika kasus tersebut masih diperiksa oleh pihak Kepolisian maupun Kejaksaan/Penuntut Umum, dan belum dilimpahkan ke Pengadilan, maka terhadap kasus tersebut harus dihentikan karena landasan atau pijakan hukum yang menjadi dasar diperiksanya masyarakat dinyatakan tidak berlaku lagi. Dasar penghentiannya adalah dihentikannya proses penyidikan.
b.     Lalu bagaimana jika kasus tersebut sudah di pengadilan, maka sesuai dengan prinsip putusan Mahkamah Konstitusi yang obligatoir, maka pihak pengadilan umum harus menghormati putusan MK tersebut dengan memberikan putusan melepaskan tuntutan, karena perbuatan tersebut bukan lagi perbuatan pidana, jika tentunya yang dijadikan dasar penuntutannya adalah pasal 21 jo. 47 UU No. 18 Tahun 2004.
C.          Implikasi Putusan MK Putusan MK terhadap UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Berkenaan dengan uji materi Pasal 1 angka 3, Undang-Undang No 41/1999 tentang Kehutanan, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan dua hal penting, yaitu pertama berkenaan dengan kata “ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 1 angka 3, MK menilai keberadaan pasal tersebut, terutama kata-kata “ ditunjuk dan atau ditetapkan” bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kedua, meskipun Pasal 1 angka 3 dan Pasal 81 Undang-Undang No 41/1999 menggunakan kalimat “ditunjuk dan atau ditetapkan”, namun berlakunya untuk yang “ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 81 tersebut tetap sah dan mengikat.[8]
Berkenaan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, kiranya ada beberapa implikasi hukum yang kiranya perlu dipahami dengan baik, yaitu antara lain:
1.       Sesuai dengan sifat putusan Mahkamah Konstitusi, terutama asas atau prinsip prospektif,[9] maka putusan kiranya putusan MK tersebut dapat dipahami bahwa seluruh kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan sebelum berlakunya Undang-undang No 41/1999 tetap sah dan mengikat. Namun, sejak Putusan MK dibacakan yaitu sejak tanggal 21 Februari 2012, kawasan hutan negara dapat dinyatakan sah hanya apabila telah dilaksanakan penetapan kawasan hutan sesuai Pasal 15  Undang-undang No 41/1999.[10]
2.       Putusan MK ini juga memperlihatkan dan memperhatikan keberadaan hak perseorangan ataupun hak adat/ulayat dalam penetapan kawasan menjadi kawasan hutan. antara lain memperhatikan kemungkinan adanya hak-hak perseorangan atau hak pertuanan (ulayat) yang sudah lama ada. Putusan ini jelas memperlihatkan upaya MK memberikan perlindungan kepada hak perseorangan ataupun hak adat, dan ini jelas sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 D UUD 1945.[11] Bentuk perlindungan hukum terhadap hak perseorangan dan atau hak ulayat/adat ini bisa dilihat dari implikasi putusan tersebut bahwa jika dalam pemetaan dan penetapan batas kawasan hutan ternyata terdapat adanya hak perseorangan dan hak adat/ulayat maka mereka harus dikeluarkan dari arela penetapan kawasan hutan tersebut.
3.       Karena sifanya putusan dari Mahkamah mempunyai kekuatan hukum mengikat (erga omnes), maka  putusan MK yang bersifat erga omnes tersebut mengikat secara obligatoir bagi seluruh organ negara, baik tingkat pusat dan daerah serta semua otoritas lainnya. Ini berarti berimplikasi kepada penataan ruang sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007  tentang Penataan Ruang, terutama jika dalam penetapan pola ruang, hal ini penting untuk diperhatikan karena jangan sampai penentuan dan penetapan pola ruang, bersentuhan dengan hak perseorangan ataupun hak ulayat.  Bahkan kiranya dapat dikatakan apa yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, terutama yang menyangkut tata guna hutan kesepakatan (RGHK) dinilai belum definitif tetapi sifatnya indikatif, karena apa yang telah ditetapkan ternyata tidak memperhatikan hak perseorangan dan hak adat/ulayat.
4.       Dengan dikeluarkannya keputusan MK tersebut kiranya menjadi kewajiban bagi Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota, Desa atau LSM untuk melakukan inventarisasi terkait keberadaan masyarakat adat/lokal, perkembangan desa, migrasi penduduk, mobilisasi masa yang menduduki kawasan hutan, serta berbagai jenis ijin maupun hak guna usaha sebagai bahan percepatan pengukuhan kawasan hutan.



----------- ooOoo ------------


[1] Pasal 1 angka 1 UU MK
[2] Pasal 51 ayat (1) UU MK
[3]Impeachment adalah pemanggilan atau pendakwaan untuk meminta pertanggungjawaban atas persangkaan pelanggaran hukum yang dilakukan dalam masa jabatannya (Abdul Rosyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 453).
[4] Pasal 57 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) , Pasal 73 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 77 ayat (3), dan Pasal 83 ayat (2) UU MK UU MK
[5] Pasal 24C ayat (1) Amandemen ketiga UUD NRI 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) beserta penjelasannya dan Pasal 47 UU MK
[6] Abdul Rasyid Thalib, , hlm. 55
[7] Penjelasan Pasal 21 UU 18/2004 menyatakan: “Yang dimaksud dengan tindakan yang mengakibatkan pada kerusakan kebun adalah suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan pada tanaman, antara lain, penebangan pohon, panen paksa, atau pembakaran sehingga kebun tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.Yang dimaksud dengan penggunaan tanah perkebunan tanpa izin adalah tindakan okupasi tanah tanpa seizin pemilik hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan tindakan lain yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan adalah, antara lain, tindakan yang mengganggu pekerja sehingga tidak dapat melakukan panen atau pemeliharaan kebun sebagaimana mestinya”;
[8] Pasal 81 Undang-Undang No 41/1999: "Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini."
[9] Prinsip prospektif dari putusan mahkamah konstitusi bisa dilihat dalam Pasal 47 Undang-undang No 24/2003 jo No 8/2011 tentang Mahkamah Konstitusi
[10] Berkenaan dengan hal ini Pendapat MK sebagaimana tertera dalam putusannya [3.12.2] mengatakan bahwa: Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan discretionary powers. Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan.
[11] Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar