MEMAHAMI KEPUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT UU NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PERKEBUNAN DAN UU NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG KEHUTANAN DALAM PRESPEKTIF HUKUM TATA NEGARA
SERTA IMPLIKASINYA DALAM REGULASI
* Makalah disajikan dalam seminar Publik “Membumikan Keputusan Mahkamah Konstitusi Tentang Undang-Undang Perkebunan Dan Kehutanan Dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam Untuk Kehidupan Rakyat Dan Lingkungan Hidup Di Kalimantan Barat”, 9 April 2012 Di Hotel Merpati Pontianak.
A.
Pendahuluan:
Sejak hadirnya dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, Mahkamah Konstitusi sudah menjadi salah satu tumpuan masyarakat atau
rakyat untuk mengadukan akan ketidakadilan yang sering muncul dalam kehidupan
hukum di indonesia. Ketidakadilan yang selalu menyertai ketika suatu produk
hukum di lahirkan oleh lembaga legislatif dan eksekutif, dan yang menjadi
patokan dan pedoman dalam menentukan ketidakadilan selalu mendasarkan pada
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai batu uji persoalan tersebut di atas. Sudah
banyak peraturan perundang-undangan yang dibatalkan, baik untuk keseluruhannya,
hanya pasal tertentu atau kata-kata tertentu yang ada dalam suatu undang-undang
karena dinilai bertentangan dengan substansi undang-undang dasar 1945.
Tidak jarang keputusan yang dikeluarkan dinilai
oleh banyak kalangan dinilai aneh, kontroversi disamping sesuai dengan kehendak
masyarakat pada umumnya, dan keputusan Mahkamah Konstitusi memiliki implikasi
yang besar dan fundamental dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, dan jika
putusan mahkamah konstitusi ini tidak mendapatkan perhatian dengan seksama oleh
para pihak, terutama kalangan eksekutif maupun legislatif, maka persoalan yang
menjadi konsen putusan Mahkamah Konstitusi bisa menjadi pelik dalam kehidupan.
Makalah singkat dan sederhana ini bertujuan melihat
bagaimana implikasi putusan Mahkamah Konstitusi, terutama dalam bidang
pengelolaan sumber daya alam, berkenaan dengan telah diputuskannya uji materi
terhadap dua undang-undang yang secara langsung berhubungan dengan sumber daya
alam, yaitu putusan terhadap UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan Dan UU
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.[1] Keberadaan MK di dalam kekuasaan
kehakiman adalah sebagai penjaga konstitusi (the quardian of the
constitution atau waakhond van de grondwet), yang diberikan oleh UUD
NRI 1945 untuk menyelesaikan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak
konstitusional[2].
MK mempunyai kewenangan sebagaimana
dalam Pasal 24C ayat (1) Amandemen ketiga UUD NRI 1945 yang berbunyi : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Selain keempat kewenangan
tersebut, MK juga mempunyai satu kewajiban untuk memeriksa, mengadili dan
memutus terhadap pendapat DPR mengenai dugaan adanya pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini sebagaimana terdapat
dalam Pasal 24C ayat (2) Amandemen ketiga UUD NRI 1945, yaitu "Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar".
Kewenangan dan kewajiban MK
ini didasarkan atas gagasan check and balance dalam bentuk control
judicial yang dilakukan oleh MK, karena salah satu dari asas negara hukum (rechtstaad)
adalah adanya peran peradilan yang bebas
dan tidak memihak untuk memberikan putusan terhadap segala kasus hukum yang
terjadi di dalam suatu negara. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara hukum
harus menyelesaikan segala persoalan hukum melalui proses hukum, termasuk
proses impeachment[3] Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
Berdasarkan kelima bentuk
putuasan MK tersebut, hanya empat yang berkekuatan hukum mengikat dan secara
serta merta langsung dapat dilaksanakan sejak putusan MK telah dinyatakan in kracht van gewijsde tanpa menunggu
lagi keputusan dari lembaga negara lainnya. Sedangkan “Putusan” MK tentang
adanya dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau oleh Wakil Presiden adalah
tidak berkekuatan hukum mengikat, sehingga “Putusan” MK ini masih belum bisa
dilaksanakan. [4]
Hukum acara MK mengenal beberapa prinsip putusan
yang membedakan Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung yang sama-sama
melaksanakan fungsi peradilan, yaitu asas putusan yang bersifat final dan Asas
putusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat (erga omnes). Di samping itu, putusan Mahkamah Konstitusi juga
bersifat Prospektif.
Putusan bersifat final, artinya putusan MK langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lagi
yang dapat ditempuh[5]. Sedangkan pengertian mempunyai kekuatan hukum
mengikat (erga omnes) adalah putusan
yang akibat hukumnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang
mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Putusan MK bersifat erga omnes mengikat secara obligatoir
bagi seluruh organ negara, baik tingkat pusat dan daerah serta semua otoritas
lainnya.[6] Sedangkan putusan MK bersifat prospektif
dimaksudkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut tetapi
diberlakukan kedepan sejak putusan tersebut dibuat.
B.
Implikasi Putusan MK terhadap UU 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Salah satu putusan yang kiranya penting untuk
mendapatkan perhatian adalah putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dikatakan penting karena
putusan Mahkamah Konstitusi ini menyangkut kelangsungan pengelolaan sumber daya
alam (perkebunan) dan kehutanan di Indonesia.
Seperti
telah diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi pada
hari Senin, 19 Sept 2011
Telah
mengeluarkan putusan Nomor
55/PUU-VIII/2010
yang substansi dasar dari putusn tersebut telah
membatalkan pasal 21 and 47 Undang-Undang Perkebunan No.18 Tahun 2004, karena
dinilai bertentangan dengan pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945. Pasal tersebut
merupakan pasal atau ketentuan pidana yang ada pada UU No. 18 Tahun 2004, yang
dalam prakteknya telah menjadi pasal yang ampuh bagi aparat penegak hukum dalam
melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang melakukan aktivitas disekitar
perkebunan.
Dalam uji
materi pasal 21 jo pasal 47 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, penulis
diminta oleh pemohon (PILNET) untuk hadir dalam persidangan dalam kapasitas
sebagai ahli guna memberikan keterangan bagaimana sesungguhnya posisi pasal pasal
21 jo pasal 47 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan terhadap pasal 18 B UUD
1945.
Dalam
memberikan keterangan selaku ahli dalam uji materi tersebut, penulis katakan
bahwa kebijakan formulasi pasal 21 jo pasal 47 UU No. 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan menurut penulis keliru, kekeliruan yang diperlihatkan akan bahwa
persoalan yang muncul dilapangan, terutama antara masyarakat dengan pihak
perusahaan, merupakan klaim hak yaitu hak yang berasal dari negara dengan hak
yang secara antropologis sudah ada pada masyarakat yang ada disekitar hutan
yang akan dibukan menjadi lahan perkebenunan, apalagi jika dihubungan dengan
keberadaan pasal 18 B UUD 1945 yang telah memberikan pengakuan konstitusional
bagi masyarakat adat dengan segala kearifan yang ada, dan menurut penulis hukum
dan hak milik adat adalah salah satu kearifan yang ada dalam masyarakat adat,
yang memiliki karakteristik khas yang berbeda dengan hukum negara. Dan menurut
penulis, dengan masuknya pasal 18 B sebagai hasil amandemen UUD 1945, negara
indonesia sacara sadar sudah masuk dalam pluralisme hukum.
Dengan
kerangka berfikir tersebutlah penulis katakan bahwa persoalan yang terjadi
antara pihak perusahaan dengan masyarakat pada dasarnya merupakan klaim hak
antar perusahaan yang memperoleh hak dari negara dengan masyarakat yang
memperoleh hak secara defakto antropologis, dan klaim antara hak ini tidak bisa
diselesaikan dengan hukum pidana. Karena menurut penulis, hukum pidana baru
masuk dan mengambil bagian dalam menyelesaikan persoalan jika kejelasan akan
hak sudah ada.
Berkenaan
dengan implikasi putusan MK terhadap UU Perkebunan tersebut, sesungguhnya hanya
menyangkut keberadaan mereka-mereka yang oleh aparat penegak hukum diperiksa
berkenaan dengan pelanggara pasal 21 jo. 47 UU Perkebunan tersebut, dimana pasal
21 UU No. 18 Tahun 2004 manyatakan bahwa: “Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan
kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau
tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”.[7] Sedangkan pasal 47 menyatakan bahwa:
a.
“Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan
yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan
perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya
usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah)”;
b. “Setiap orang yang karena kelalaiannya
melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya,
penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang
mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan
denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah)”;
Pertanyaan yang muncul
berkenaan dengan implikasi dibatalkannya pasal 21 jo. 47 UU No. 18 tahun 2004
adalah bagaimana status hukum masyarakat yang telah ditahan, diperiksa atau
yang sudah dihukum baik sebelum maupun sesudah tanggal 19
Sept 2011, terhadap hal ini kiranya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,
diantaranya adalah:
1.
Bahwa semua kasus yang telah
diputus oleh pengadilan dan sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka
terhadapnya tetap harus menghormati putusan peradilan umum tersebut, hal ini
dikarenakan putusan mahkamah konstitusi tidak berlaku surut, artinya setelah
tanggal tersebut, maka orang/masyarakat tidak lagi dapat dikenakan pasal 21 jo.
47 UU No. 18 Tahun 2004.
2.
Lalu bagaimana kemudian
terhadap kasus dimana sampai dengan tanggal tersebut bulan juga memperoleh
kekuatan hukum tetap, terhadap ini ada beberapa hal:
a.
Jika kasus tersebut masih
diperiksa oleh pihak Kepolisian maupun Kejaksaan/Penuntut Umum, dan belum
dilimpahkan ke Pengadilan, maka terhadap kasus tersebut harus dihentikan karena
landasan atau pijakan hukum yang menjadi dasar diperiksanya masyarakat
dinyatakan tidak berlaku lagi. Dasar penghentiannya adalah dihentikannya proses
penyidikan.
b.
Lalu bagaimana jika kasus
tersebut sudah di pengadilan, maka sesuai dengan prinsip putusan Mahkamah
Konstitusi yang obligatoir, maka pihak pengadilan umum harus menghormati
putusan MK tersebut dengan memberikan putusan melepaskan tuntutan, karena
perbuatan tersebut bukan lagi perbuatan pidana, jika tentunya yang dijadikan
dasar penuntutannya adalah pasal 21 jo. 47 UU No. 18 Tahun 2004.
C.
Implikasi Putusan MK Putusan MK terhadap UU 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan
Berkenaan dengan uji materi Pasal 1 angka 3,
Undang-Undang No 41/1999 tentang Kehutanan, Mahkamah Konstitusi telah
memutuskan dua hal penting, yaitu pertama berkenaan dengan kata
“ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 1 angka 3, MK menilai keberadaan pasal
tersebut, terutama kata-kata “ ditunjuk dan atau ditetapkan” bertentangan
dengan Undang-undang Dasar 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Kedua, meskipun Pasal 1 angka 3 dan Pasal 81 Undang-Undang No
41/1999 menggunakan kalimat “ditunjuk dan atau ditetapkan”, namun berlakunya
untuk yang “ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 81 tersebut tetap sah dan
mengikat.[8]
Berkenaan dengan putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut di atas, kiranya ada beberapa implikasi hukum yang kiranya perlu
dipahami dengan baik, yaitu antara lain:
1. Sesuai dengan sifat putusan Mahkamah Konstitusi,
terutama asas atau prinsip prospektif,[9] maka putusan kiranya putusan MK tersebut dapat
dipahami bahwa seluruh kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan
sebelum berlakunya Undang-undang No 41/1999 tetap sah dan mengikat. Namun,
sejak Putusan MK dibacakan yaitu sejak tanggal 21 Februari 2012, kawasan hutan
negara dapat dinyatakan sah hanya apabila telah dilaksanakan penetapan kawasan
hutan sesuai Pasal 15 Undang-undang No 41/1999.[10]
2. Putusan MK ini juga memperlihatkan dan
memperhatikan keberadaan hak perseorangan ataupun hak adat/ulayat dalam
penetapan kawasan menjadi kawasan hutan. antara lain memperhatikan kemungkinan
adanya hak-hak perseorangan atau hak pertuanan (ulayat) yang sudah lama ada.
Putusan ini jelas memperlihatkan upaya MK memberikan perlindungan kepada hak
perseorangan ataupun hak adat, dan ini jelas sebagaimana dimaksud dalam pasal
18 D UUD 1945.[11] Bentuk perlindungan hukum terhadap hak perseorangan
dan atau hak ulayat/adat ini bisa dilihat dari implikasi putusan tersebut bahwa
jika dalam pemetaan dan penetapan batas kawasan hutan ternyata terdapat adanya
hak perseorangan dan hak adat/ulayat maka mereka harus dikeluarkan dari arela
penetapan kawasan hutan tersebut.
3. Karena sifanya putusan dari Mahkamah mempunyai
kekuatan hukum mengikat (erga omnes),
maka putusan MK yang bersifat erga omnes
tersebut mengikat secara obligatoir bagi seluruh organ
negara, baik tingkat pusat dan daerah serta semua otoritas lainnya. Ini berarti berimplikasi kepada penataan ruang
sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, terutama jika dalam
penetapan pola ruang, hal ini penting untuk diperhatikan karena jangan sampai
penentuan dan penetapan pola ruang, bersentuhan dengan hak perseorangan ataupun
hak ulayat. Bahkan kiranya dapat
dikatakan apa yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh UU No. 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang, terutama yang menyangkut tata guna hutan kesepakatan
(RGHK) dinilai belum definitif tetapi sifatnya indikatif, karena apa yang telah
ditetapkan ternyata tidak memperhatikan hak perseorangan dan hak adat/ulayat.
4. Dengan dikeluarkannya keputusan MK tersebut kiranya
menjadi kewajiban bagi Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota, Desa atau LSM untuk
melakukan inventarisasi terkait keberadaan masyarakat adat/lokal, perkembangan
desa, migrasi penduduk, mobilisasi masa yang menduduki kawasan hutan, serta
berbagai jenis ijin maupun hak guna usaha sebagai bahan percepatan pengukuhan
kawasan hutan.
-----------
ooOoo ------------
[1] Pasal 1
angka 1 UU MK
[2] Pasal 51
ayat (1) UU MK
[3]Impeachment adalah pemanggilan atau pendakwaan untuk meminta pertanggungjawaban atas
persangkaan pelanggaran hukum yang dilakukan dalam masa jabatannya (Abdul
Rosyid Thalib, Wewenang Mahkamah
Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Bandung
: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 453).
[4] Pasal 57
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) , Pasal 73
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 77 ayat (3), dan Pasal 83 ayat (2) UU MK UU MK
[5] Pasal
24C ayat (1) Amandemen ketiga UUD NRI 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) beserta
penjelasannya dan Pasal 47 UU MK
[6] Abdul Rasyid
Thalib, , hlm. 55
[7] Penjelasan
Pasal 21 UU 18/2004 menyatakan: “Yang dimaksud
dengan tindakan yang mengakibatkan pada kerusakan kebun adalah suatu perbuatan
yang menimbulkan kerusakan pada tanaman, antara lain, penebangan pohon, panen
paksa, atau pembakaran sehingga kebun tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya.Yang dimaksud dengan penggunaan tanah perkebunan tanpa izin adalah
tindakan okupasi tanah tanpa seizin pemilik hak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Yang dimaksud dengan tindakan lain yang mengakibatkan
terganggunya usaha perkebunan adalah, antara lain, tindakan yang mengganggu
pekerja sehingga tidak dapat melakukan panen atau pemeliharaan kebun
sebagaimana mestinya”;
[8] Pasal 81
Undang-Undang No 41/1999: "Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum
berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang
ini."
[9] Prinsip prospektif dari
putusan mahkamah konstitusi bisa dilihat dalam Pasal 47 Undang-undang No
24/2003 jo No 8/2011 tentang Mahkamah Konstitusi
[10] Berkenaan
dengan hal ini Pendapat MK sebagaimana tertera dalam putusannya [3.12.2]
mengatakan bahwa: Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan
hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku
kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan
perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan
kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan
harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan discretionary
powers. Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya
dilakukan melalui penunjukan.
[11] Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar