Selamat Datang

Selamat Datang
Lumayan

Cari Blog Ini

Selasa, 10 April 2012

Gusti Wadai adalah cucu dari Gusti Matan.


THURSDAY, JULY 12, 2007
OLEH GUSTI MULIA


Inilah sekelumit kisah “Lenyapnya Satu Generasi Kerajaan Simpang”, masa tiga jaman penjajahan – Belanda, Jepang dan KNIL. Kerajaan Simpang terletak di wilayah Simpang Hilir sekarang. Kisah bermula dari masa Penembahan Suryaningrat, hingga Gusti Matan dan Gusti Wadai.

Masa Kolonialisme Belanda

Gusti Panji bergelar Panembahan Suryaningrat adalah raja keempat dari Kerajaan Simpang. Belanda berusaha membujuk dan memaksa Panembahan untuk menandatangani Kontrak Pendek (Koerte Verkelaring), namun ditolak oleh Gusti Panji. Karena dianggap membangkang maka Panembahan itu ditangkap.
Karena tidak berhasil memaksa dan menawan Panembahan, maka Belanda memaksakan sendiri Korte Verkelaring itu, dan memaksa rakyat untuk membayar pajak (belasting). Pemaksaan inilah yang membangkitkan semangat rakyat untuk menantang penjajahan yang dipimpin oleh Patih Kampung Sepuncak yang bergelar Hulubalang I yang bernama Abdussamad atau dikenal dengan Ki Anjang Samad, Panglima Ropa, Panglima Ida, Gani, Enteki, Etol, Gecok dan Patih-patih, serta Demong-demong. Terjadilah peperangan di Kampung Belangkait. Setelah dua hari peperangan banyaklah korban baik di pihak Ki Anjang Samad maupun di pihak Belanda. Termasuk Ki Anjang Samad dan Patih Kembereh kemudian gugur, serta tertangkapnya lima Panglima. Mereka ditawan di Sukadana, dan empat di antaranya mati di dalam penjara, yaitu Panglima Ida, Gani, Etol, dan Panglima Gecok. Inilah korban pertama kerabat Kerajaan Simpang dalam menentang penjajah Belanda.
Perang Tumbang Titi yang dipimpin oleh Uti Usman di Hulu Ketapang terjadi hampir bersamaan dengan Perang Belangkait di Kerajaan Simpang.
Gusti Muhammad Shalehan, ayah dari ibuku Utin Tahara yang berdomisili di Riam Bumut, terlibat dalam perang Tumbang Titi tersebut. Oleh karena itu beliau ditangkap, dibuang, dan tidak dikembalikan lagi. Tidak diketahui di mana lokasi pembuangannya, dan beliau pun menjadi korban keganasan penjajah Belanda.
Gusti Hamzah dari Telok Melano bergerak melanjutkan Perang Belangkait tetapi tidak secara fisik berhadapan langsung dengan Belanda. Beliau mengubah cara lain dalam memberikan perlawanan, yaitu melalui sosial-politik, dalam meneruskan cita-cita perjuangan melalui organisasi Syarikat Islam yang dibekukan Belanda pada tahun 1919. Pada tahun 1926 atas perintah Gubernur Jenderal D. Fock diadakan penangkapan dan pembunuhan terhadap anggota organisasi yang dianggap berbahaya, termasuklah Gusti Hamzah. Beliau dijebloskan ke penjara dan diasingkan ke Boven Digul. Beliau dipulangkan 11 tahun kemudian tetapi masih tetap ditahan di penjara Sukadana. Beliau adalah korban masa kependudukan penjajah Belanda di Kerajaan Simpang. Korban-korban penjajahan Belanda antara lain: Abdussamad, Patih Kembereh, Panglima Ida, Panglima Gani, Panglima Etol, Panglima Gecok, Gusti M. Salehan, dan Gusti Hamzah.

Masa Fasisme Jepang

Pada masa pemerintahan ayahku Gusti Mesir, yang menjadi Panembahan Kerajaan Simpang ke VI setelah menggantikan datukku Gusti Rum, keadaan perekonomian mengalami masa-masa yang cerah dengan sumber utama dari hasil hutan, kebun, dan karet.
Kemakmuran rakyat Simpang pun berakhir dengan datangnya fasisme Jepang pada tahun 1942. Rakyat mengalami penderitaan yang berat, mengalami kesulitan sandang dan pangan, sehingga rakyat memakan ubi dan sagu, berkain dan bercelanakan goni, serta berbaju kapuak (kulit kayu). Rakyat juga mengalami ketakutan dengan adanya teror yang dilakukan Jepang dan para kaki tangannya. Pelecehan terhadap ucapan “koni ciwak” diartikan, konicewak – celana goni baju kapuak, ada kopi gula tidak (menggambarkan keadaan pada masa itu).
Perekonomian lumpuh total, pasar menjadi sepi karena tidak adanya barang yang akan diperjual-belikan, tidak adanya beras, gula, tembakau, garam, minyak, dan bahan kebutuhan lainnya. Penduduk membuat garam dari batang nipah, gula dari kelapa dan enau, dan menggunakan minyak kelapa untuk penerangan.
Pada waktu raja-raja dipanggil ke Pontianak untuk sebuah pertemuan yang diadakan oleh Jepang, ayahku Gusti Mesir kemudian berangkat bersama Mas Raijin yang selalu diikutsertakan sebagai pembantunya untuk mempersiapkan semua keperluan selama bepergian. Dari Sukadana berangkat pulalah Tengku Betung (Tengku Idris). Setibanya di Pontianak semua raja-raja tersebut ditangkap oleh Jepang termasuk Gusti Mesir dan Mas Raijin.
Seminggu kemudian, Gusti Mesir dibebaskan atas perintah Tuan Siama - Kepala Maskapai Durian Sebatang. Kemudian Gusti Mesir meminta agar Mas Raijin iparnya dibebaskan. Sulit sekali untuk mencari Mas Raijin dari semua tawanan yang banyak itu yang disungkup dengan karung selipi dan hanya dilobangi sekedar untuk dapat melihat saja. Untunglah beliau akhirnya dapat ditemukan, karena ketika dalam barisan yang panjang, tawanan-tawanan yang disungkup itu sedang berjalan, maka tampaklah seorang di antaranya yang berjalan pincang. Itulah keberuntungan Mas Raijin. Karena kakinya pincang, selamatlah ia dari samurai Kempetai.
Beberapa hari sekembalinya ke Telok Melano, berkumpullah semua penggawa, kiyai-kiyai, para patih dan demong, serta para kerabat kerajaan untuk bermusyawarah di istana Panembahan yang dipimpin oleh Penggawa Gusti Hamzah. Pertemuan itu dimaksudkan untuk mencari jalan menyelamatkan panembahan. Ada yang menyarankan agar melawan Jepang dengan mengerahkan segala kemampuan yang ada. Ada juga yang mengusulkan supaya dilaporkan meninggal karena ditangkap buaya – sebab waktu itu buaya sedang mengganas dan beberapa penduduk sudah menjadi korbannya. Ada pula yang mengusulkan agar lari bersembunyi ke pedalaman. Semua usul dan saran itu dengan halus ditolak oleh Panembahan, karena menurut pertimbangan beliau usulan-usulan tersebut tidak akan membuahkan hasil yang baik, bahkan bakal mengorbankan rakyat sendiri. Beliau berkata, “Biarlah aku yang menjadi korban, asal jangan rakyat.”
Pertemuan tersebut melahirkan kekecewaan karena tidak dapat berbuat apa-apa, selain pasrah dengan takdir yang akan terjadi. Panembahan sudah mempertimbangkan segala kemungkinan yang terjadi dan tabah menghadapinya demi keselamatan rakyat dan keluarga kerajaan.
Menurut cerita ibuku, setelah ayahku kembali dari Pontianak pada waktu penangkapan pertama itu, ayahku berkata bahwa Jepang nanti pasti akan datang lagi untuk menangkapnya. Itulah sebabnya beliau pada waktu itu selalu dalam keadaan siap dan tidak melepaskan pakaian baik siang maupun malam, bahkan tidurpun ayahku masih mengenakan sepatu.
Dalam keadaan seperti itu, ada berita tentang pelarian dari Pontianak Kepala Staatwech (mata-mata) Belanda ke Melano. Maka datanglah Jepang dari Sukadana dan Ketapang untuk mencarinya. Panembahan diminta untuk mengerahkan rakyat membantu menangkapnya. Diadakanlah penyisiran di sekitar Melano kota dan Rantau Panjang selama beberapa hari siang dan malam. Akhirnya Kepala Staatwach tersebut dapat ditangkap di Rantau panjang dan langsung dibawa ke Ketapang.
Selang beberapa hari setelah ditangkapnya Staatwach itu, datanglah ‘motor cabang’ dengan dua orang Kempetai dari Pontianak ke istana Panembahan. Kempetai itu meminta Panembahan untuk dibawa (ditangkap). Di sekitar keraton banyak burung layang-layang, Kempetai itu pun memainkan samurainya memancung burung-burung tersebut, akan tetapi tidak ada satu ekor pun yang kena, mungkin hanya untuk menakut-nakuti saja. Keadaan Keraton pada saat itu sangat sepi karena hanya ada istri Panembahan dan istri Panembahan tua. Hanya isak tangis yang tersendat-sendat, karena apa yang dikatakan panembahan memang itulah yang terjadi – bahwa Jepang pasti akan datang menangkapnya. Turut di bawa juga Gusti Tawi (Manteri Tani) adik dari Panembahan yang rumahnya bersebelahan dengan Keraton. Mereka pun berjalan seiring berjalan menuju ‘motor cabang’. Seperti suasana Keraton yang sepi, daerah pasar pun juga sepi sehingga tidak banyak yang tahu akan peristiwa penangkapan itu.
Kemudian dari Telok Melano, motor cabang itu terus melaju ke hulu Sungai Mata-Mata mengambil Panembahan Tua Gusti Rum di peladangannya, dan mudik lagi ke peladangan Sungai Pinang mengambil Gusti Umar (abang Panembahan) yang menjabat sebagai Menteri Polisi. Tengku Ajong suami dari Utin Temah (adik Panembahan) juga ditangkap begitu pula dengan supir Panembahan yang bernama Dolah, dan satu orang lagi yang bernama Bujang Kerepek. Jadi, semua yang ditangkap di Telok Melano adalah: Gusti Rum, Gusti Mesir, Gusti Umar, Gusti Tawi, Tengku Ajung, Dolah, dan Bujang Kerepek. Sedangkan keluarga kerajaan yang berasal dari Sukadana ialah: Panembahan Tengku Idris (Tengku Betung), suami Utin Otek (kakak dari Panembahan Gusti Mesir).
Adapun Gusti Ja’far (anak dari Gusti Rum) yang telah berumur 18 tahun disembunyikan, karena Jepang mencari keturunan Gusti Rum ini dan kerabatnya yang berumur di atas 17 tahun dalam melaksanakan programnya Jepangisasi (menjepangkan bangsa Indonesia).
Seminggu kemudian setelah Panembahan Gusti Mesir ditangkap untuk kedua kalinya itu, Kempetai-kempetai Jepang datang lagi ke keraton dan langsung memeriksa semua bagian-bagian rumah, setiap kamar, lorongan, bahkan kamar mandi. Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa dan mereka pun tidak menyatakan sesuatu apa pun.
Sejak itu hampir setiap minggu kompetai-kompetai Jepang datang untuk mencari ibuku Utin Taharah. Adik bungsuku yang baru saja berumur sebulan dan belum diberi nama, menjadi pelindung, perisai, dan penyelamat ibuku dari kebiadaban dan kebejadan Kempetai Jepang. Setiap Kempetai datang, ibuku segera mengendung adikku. Begitulah setiap kali yang dilakukan ibuku ketika datangnya Kempetai-kempetai Jepang.
Semakin seringnya Kempetai datang, semakin besar pula kekhawatiran dan ketakutan ditangkap Jepang. Tetapi, Alhamdulillah, Allah menyelamatkan ibuku melalui adik bungsuku sebagai pelindung.

Masa Kolonialisme Belanda (KNIL)

Di akhir masa fasisme Jepang dan dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia sudah terdengar di seluruh pelosok tanah air, maka timbullah gerakan balas dendam atas kebiadaban fasisme Jepang, dan gerakan membela kematian raja-raja. Gerakan bermula dari hulu pedalaman dengan bergabungnya suku Dayak dan Melayu, yang lebih dikenal dengan gerakan Kepala Burung.
Di Telok Melano, turunlah dari hulu pedalaman Simpang Dua yang dipimpin Gusti Lengat, anak Panembahan Gusti Panji Raja Simpang dengan Kepala Burung sekitar 30 orang. Mereka menyisir mencari pelarian Jepang sampai ke Sukadana tetapi tidak seorang Jepang pun ditemui.
Di Ketapang, gerakan bermula dari Riam Bumut dan Tumbang Titi dipimpin oleh Gusti Matan dan Gusti Wadai dengan kepala-kepala burung, mereka dapat menangkap seorang Jepang dan mereka sembelih. Kemudian Gusti Matan dan beberapa Kepala Burung itu ke Pontianak bergabung dengan gerakan dari daerah Kabupaten lain. Majang Desa dari Suku Dayak pada awal Oktober 1945 yang masuk ke Pontianak dengan membawa kepala Jepang yang dipotong saat pengusiran dari daerah pedalaman. Dengan tegas mereka menuntut agar kota Pontianak dibentuk dan dinobatkan sultan baru pengganti sultan yang dibunuh Jepang.
Atas dasar pertimbangan kekeluargaan, maka dinobatkanlah Syarif Taha Alkadrie, seorang tokoh republican sebagai Sultan Pontianak. Saat penobatannya sebagai Sultan Pontianak di halaman istana Kadriyah dikibarkanlah bendera merah putih yang dinaikkan oleh Gusti Matan dan Abdul Muthalin Rivai (Sejarah Perjuangan Kalimantan Barat, 1991:122).
Dengan berbekal pengalaman di Pontianak itu, Gusti Matan kembali ke Ketapang mengkoordinir kembali gerakannya dan menaikkan bendera merah putih. Selang beberapa lama kemudian, Belanda (KNIL) menyerang gerakan Gusti Matan dari dua jurusan darat dan sungai. Karena persenjataan tidak seimbang, tanpa terjadi peperangan, Gusti Matan menyerah, dan bendera merah putih diturunkan, diganti dengan bendera penjajah merah, putih, biru.
Gusti Matan dan Gusti Wadai, serta beberapa orang lainnya, ditangkap dan dibawa ke Pontianak yang akhirnya dibuang ke Nusakambangan. Gusti Matan meninggal di pembuangan, dan Gusti Wadai dibebaskan setelah Penyerahan Kedaulatan tahun 1949. Gusti Matan adalah paman dari ibuku Utin Tahara dan Gusti Wadai adalah cucu dari Gusti Matan.
Itulah korban terakhir dari keturunan Kerajaan Simpang ini, maka lenyaplah satu generasi Kerajaan Simpang selama tiga masa penjajahan Belanda, Jepang, dan Belanda (KNIL). Satu keluarga besar keturunan Kerajaan Simpang tidak dapat berziarah ke makam leluhurnya, dan semoga Allah menenpatkan para leluhur kami ditempat yang layak di sisi–Nya.


DRS. H. GUSTI MULIA
Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune tanggal 13 Juli 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar