Selamat Datang

Selamat Datang
Lumayan

Cari Blog Ini

Selasa, 10 April 2012

Gusti Wadai adalah cucu dari Gusti Matan.


THURSDAY, JULY 12, 2007
OLEH GUSTI MULIA


Inilah sekelumit kisah “Lenyapnya Satu Generasi Kerajaan Simpang”, masa tiga jaman penjajahan – Belanda, Jepang dan KNIL. Kerajaan Simpang terletak di wilayah Simpang Hilir sekarang. Kisah bermula dari masa Penembahan Suryaningrat, hingga Gusti Matan dan Gusti Wadai.

Masa Kolonialisme Belanda

Gusti Panji bergelar Panembahan Suryaningrat adalah raja keempat dari Kerajaan Simpang. Belanda berusaha membujuk dan memaksa Panembahan untuk menandatangani Kontrak Pendek (Koerte Verkelaring), namun ditolak oleh Gusti Panji. Karena dianggap membangkang maka Panembahan itu ditangkap.
Karena tidak berhasil memaksa dan menawan Panembahan, maka Belanda memaksakan sendiri Korte Verkelaring itu, dan memaksa rakyat untuk membayar pajak (belasting). Pemaksaan inilah yang membangkitkan semangat rakyat untuk menantang penjajahan yang dipimpin oleh Patih Kampung Sepuncak yang bergelar Hulubalang I yang bernama Abdussamad atau dikenal dengan Ki Anjang Samad, Panglima Ropa, Panglima Ida, Gani, Enteki, Etol, Gecok dan Patih-patih, serta Demong-demong. Terjadilah peperangan di Kampung Belangkait. Setelah dua hari peperangan banyaklah korban baik di pihak Ki Anjang Samad maupun di pihak Belanda. Termasuk Ki Anjang Samad dan Patih Kembereh kemudian gugur, serta tertangkapnya lima Panglima. Mereka ditawan di Sukadana, dan empat di antaranya mati di dalam penjara, yaitu Panglima Ida, Gani, Etol, dan Panglima Gecok. Inilah korban pertama kerabat Kerajaan Simpang dalam menentang penjajah Belanda.
Perang Tumbang Titi yang dipimpin oleh Uti Usman di Hulu Ketapang terjadi hampir bersamaan dengan Perang Belangkait di Kerajaan Simpang.
Gusti Muhammad Shalehan, ayah dari ibuku Utin Tahara yang berdomisili di Riam Bumut, terlibat dalam perang Tumbang Titi tersebut. Oleh karena itu beliau ditangkap, dibuang, dan tidak dikembalikan lagi. Tidak diketahui di mana lokasi pembuangannya, dan beliau pun menjadi korban keganasan penjajah Belanda.
Gusti Hamzah dari Telok Melano bergerak melanjutkan Perang Belangkait tetapi tidak secara fisik berhadapan langsung dengan Belanda. Beliau mengubah cara lain dalam memberikan perlawanan, yaitu melalui sosial-politik, dalam meneruskan cita-cita perjuangan melalui organisasi Syarikat Islam yang dibekukan Belanda pada tahun 1919. Pada tahun 1926 atas perintah Gubernur Jenderal D. Fock diadakan penangkapan dan pembunuhan terhadap anggota organisasi yang dianggap berbahaya, termasuklah Gusti Hamzah. Beliau dijebloskan ke penjara dan diasingkan ke Boven Digul. Beliau dipulangkan 11 tahun kemudian tetapi masih tetap ditahan di penjara Sukadana. Beliau adalah korban masa kependudukan penjajah Belanda di Kerajaan Simpang. Korban-korban penjajahan Belanda antara lain: Abdussamad, Patih Kembereh, Panglima Ida, Panglima Gani, Panglima Etol, Panglima Gecok, Gusti M. Salehan, dan Gusti Hamzah.

Masa Fasisme Jepang

Pada masa pemerintahan ayahku Gusti Mesir, yang menjadi Panembahan Kerajaan Simpang ke VI setelah menggantikan datukku Gusti Rum, keadaan perekonomian mengalami masa-masa yang cerah dengan sumber utama dari hasil hutan, kebun, dan karet.
Kemakmuran rakyat Simpang pun berakhir dengan datangnya fasisme Jepang pada tahun 1942. Rakyat mengalami penderitaan yang berat, mengalami kesulitan sandang dan pangan, sehingga rakyat memakan ubi dan sagu, berkain dan bercelanakan goni, serta berbaju kapuak (kulit kayu). Rakyat juga mengalami ketakutan dengan adanya teror yang dilakukan Jepang dan para kaki tangannya. Pelecehan terhadap ucapan “koni ciwak” diartikan, konicewak – celana goni baju kapuak, ada kopi gula tidak (menggambarkan keadaan pada masa itu).
Perekonomian lumpuh total, pasar menjadi sepi karena tidak adanya barang yang akan diperjual-belikan, tidak adanya beras, gula, tembakau, garam, minyak, dan bahan kebutuhan lainnya. Penduduk membuat garam dari batang nipah, gula dari kelapa dan enau, dan menggunakan minyak kelapa untuk penerangan.
Pada waktu raja-raja dipanggil ke Pontianak untuk sebuah pertemuan yang diadakan oleh Jepang, ayahku Gusti Mesir kemudian berangkat bersama Mas Raijin yang selalu diikutsertakan sebagai pembantunya untuk mempersiapkan semua keperluan selama bepergian. Dari Sukadana berangkat pulalah Tengku Betung (Tengku Idris). Setibanya di Pontianak semua raja-raja tersebut ditangkap oleh Jepang termasuk Gusti Mesir dan Mas Raijin.
Seminggu kemudian, Gusti Mesir dibebaskan atas perintah Tuan Siama - Kepala Maskapai Durian Sebatang. Kemudian Gusti Mesir meminta agar Mas Raijin iparnya dibebaskan. Sulit sekali untuk mencari Mas Raijin dari semua tawanan yang banyak itu yang disungkup dengan karung selipi dan hanya dilobangi sekedar untuk dapat melihat saja. Untunglah beliau akhirnya dapat ditemukan, karena ketika dalam barisan yang panjang, tawanan-tawanan yang disungkup itu sedang berjalan, maka tampaklah seorang di antaranya yang berjalan pincang. Itulah keberuntungan Mas Raijin. Karena kakinya pincang, selamatlah ia dari samurai Kempetai.
Beberapa hari sekembalinya ke Telok Melano, berkumpullah semua penggawa, kiyai-kiyai, para patih dan demong, serta para kerabat kerajaan untuk bermusyawarah di istana Panembahan yang dipimpin oleh Penggawa Gusti Hamzah. Pertemuan itu dimaksudkan untuk mencari jalan menyelamatkan panembahan. Ada yang menyarankan agar melawan Jepang dengan mengerahkan segala kemampuan yang ada. Ada juga yang mengusulkan supaya dilaporkan meninggal karena ditangkap buaya – sebab waktu itu buaya sedang mengganas dan beberapa penduduk sudah menjadi korbannya. Ada pula yang mengusulkan agar lari bersembunyi ke pedalaman. Semua usul dan saran itu dengan halus ditolak oleh Panembahan, karena menurut pertimbangan beliau usulan-usulan tersebut tidak akan membuahkan hasil yang baik, bahkan bakal mengorbankan rakyat sendiri. Beliau berkata, “Biarlah aku yang menjadi korban, asal jangan rakyat.”
Pertemuan tersebut melahirkan kekecewaan karena tidak dapat berbuat apa-apa, selain pasrah dengan takdir yang akan terjadi. Panembahan sudah mempertimbangkan segala kemungkinan yang terjadi dan tabah menghadapinya demi keselamatan rakyat dan keluarga kerajaan.
Menurut cerita ibuku, setelah ayahku kembali dari Pontianak pada waktu penangkapan pertama itu, ayahku berkata bahwa Jepang nanti pasti akan datang lagi untuk menangkapnya. Itulah sebabnya beliau pada waktu itu selalu dalam keadaan siap dan tidak melepaskan pakaian baik siang maupun malam, bahkan tidurpun ayahku masih mengenakan sepatu.
Dalam keadaan seperti itu, ada berita tentang pelarian dari Pontianak Kepala Staatwech (mata-mata) Belanda ke Melano. Maka datanglah Jepang dari Sukadana dan Ketapang untuk mencarinya. Panembahan diminta untuk mengerahkan rakyat membantu menangkapnya. Diadakanlah penyisiran di sekitar Melano kota dan Rantau Panjang selama beberapa hari siang dan malam. Akhirnya Kepala Staatwach tersebut dapat ditangkap di Rantau panjang dan langsung dibawa ke Ketapang.
Selang beberapa hari setelah ditangkapnya Staatwach itu, datanglah ‘motor cabang’ dengan dua orang Kempetai dari Pontianak ke istana Panembahan. Kempetai itu meminta Panembahan untuk dibawa (ditangkap). Di sekitar keraton banyak burung layang-layang, Kempetai itu pun memainkan samurainya memancung burung-burung tersebut, akan tetapi tidak ada satu ekor pun yang kena, mungkin hanya untuk menakut-nakuti saja. Keadaan Keraton pada saat itu sangat sepi karena hanya ada istri Panembahan dan istri Panembahan tua. Hanya isak tangis yang tersendat-sendat, karena apa yang dikatakan panembahan memang itulah yang terjadi – bahwa Jepang pasti akan datang menangkapnya. Turut di bawa juga Gusti Tawi (Manteri Tani) adik dari Panembahan yang rumahnya bersebelahan dengan Keraton. Mereka pun berjalan seiring berjalan menuju ‘motor cabang’. Seperti suasana Keraton yang sepi, daerah pasar pun juga sepi sehingga tidak banyak yang tahu akan peristiwa penangkapan itu.
Kemudian dari Telok Melano, motor cabang itu terus melaju ke hulu Sungai Mata-Mata mengambil Panembahan Tua Gusti Rum di peladangannya, dan mudik lagi ke peladangan Sungai Pinang mengambil Gusti Umar (abang Panembahan) yang menjabat sebagai Menteri Polisi. Tengku Ajong suami dari Utin Temah (adik Panembahan) juga ditangkap begitu pula dengan supir Panembahan yang bernama Dolah, dan satu orang lagi yang bernama Bujang Kerepek. Jadi, semua yang ditangkap di Telok Melano adalah: Gusti Rum, Gusti Mesir, Gusti Umar, Gusti Tawi, Tengku Ajung, Dolah, dan Bujang Kerepek. Sedangkan keluarga kerajaan yang berasal dari Sukadana ialah: Panembahan Tengku Idris (Tengku Betung), suami Utin Otek (kakak dari Panembahan Gusti Mesir).
Adapun Gusti Ja’far (anak dari Gusti Rum) yang telah berumur 18 tahun disembunyikan, karena Jepang mencari keturunan Gusti Rum ini dan kerabatnya yang berumur di atas 17 tahun dalam melaksanakan programnya Jepangisasi (menjepangkan bangsa Indonesia).
Seminggu kemudian setelah Panembahan Gusti Mesir ditangkap untuk kedua kalinya itu, Kempetai-kempetai Jepang datang lagi ke keraton dan langsung memeriksa semua bagian-bagian rumah, setiap kamar, lorongan, bahkan kamar mandi. Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa dan mereka pun tidak menyatakan sesuatu apa pun.
Sejak itu hampir setiap minggu kompetai-kompetai Jepang datang untuk mencari ibuku Utin Taharah. Adik bungsuku yang baru saja berumur sebulan dan belum diberi nama, menjadi pelindung, perisai, dan penyelamat ibuku dari kebiadaban dan kebejadan Kempetai Jepang. Setiap Kempetai datang, ibuku segera mengendung adikku. Begitulah setiap kali yang dilakukan ibuku ketika datangnya Kempetai-kempetai Jepang.
Semakin seringnya Kempetai datang, semakin besar pula kekhawatiran dan ketakutan ditangkap Jepang. Tetapi, Alhamdulillah, Allah menyelamatkan ibuku melalui adik bungsuku sebagai pelindung.

Masa Kolonialisme Belanda (KNIL)

Di akhir masa fasisme Jepang dan dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia sudah terdengar di seluruh pelosok tanah air, maka timbullah gerakan balas dendam atas kebiadaban fasisme Jepang, dan gerakan membela kematian raja-raja. Gerakan bermula dari hulu pedalaman dengan bergabungnya suku Dayak dan Melayu, yang lebih dikenal dengan gerakan Kepala Burung.
Di Telok Melano, turunlah dari hulu pedalaman Simpang Dua yang dipimpin Gusti Lengat, anak Panembahan Gusti Panji Raja Simpang dengan Kepala Burung sekitar 30 orang. Mereka menyisir mencari pelarian Jepang sampai ke Sukadana tetapi tidak seorang Jepang pun ditemui.
Di Ketapang, gerakan bermula dari Riam Bumut dan Tumbang Titi dipimpin oleh Gusti Matan dan Gusti Wadai dengan kepala-kepala burung, mereka dapat menangkap seorang Jepang dan mereka sembelih. Kemudian Gusti Matan dan beberapa Kepala Burung itu ke Pontianak bergabung dengan gerakan dari daerah Kabupaten lain. Majang Desa dari Suku Dayak pada awal Oktober 1945 yang masuk ke Pontianak dengan membawa kepala Jepang yang dipotong saat pengusiran dari daerah pedalaman. Dengan tegas mereka menuntut agar kota Pontianak dibentuk dan dinobatkan sultan baru pengganti sultan yang dibunuh Jepang.
Atas dasar pertimbangan kekeluargaan, maka dinobatkanlah Syarif Taha Alkadrie, seorang tokoh republican sebagai Sultan Pontianak. Saat penobatannya sebagai Sultan Pontianak di halaman istana Kadriyah dikibarkanlah bendera merah putih yang dinaikkan oleh Gusti Matan dan Abdul Muthalin Rivai (Sejarah Perjuangan Kalimantan Barat, 1991:122).
Dengan berbekal pengalaman di Pontianak itu, Gusti Matan kembali ke Ketapang mengkoordinir kembali gerakannya dan menaikkan bendera merah putih. Selang beberapa lama kemudian, Belanda (KNIL) menyerang gerakan Gusti Matan dari dua jurusan darat dan sungai. Karena persenjataan tidak seimbang, tanpa terjadi peperangan, Gusti Matan menyerah, dan bendera merah putih diturunkan, diganti dengan bendera penjajah merah, putih, biru.
Gusti Matan dan Gusti Wadai, serta beberapa orang lainnya, ditangkap dan dibawa ke Pontianak yang akhirnya dibuang ke Nusakambangan. Gusti Matan meninggal di pembuangan, dan Gusti Wadai dibebaskan setelah Penyerahan Kedaulatan tahun 1949. Gusti Matan adalah paman dari ibuku Utin Tahara dan Gusti Wadai adalah cucu dari Gusti Matan.
Itulah korban terakhir dari keturunan Kerajaan Simpang ini, maka lenyaplah satu generasi Kerajaan Simpang selama tiga masa penjajahan Belanda, Jepang, dan Belanda (KNIL). Satu keluarga besar keturunan Kerajaan Simpang tidak dapat berziarah ke makam leluhurnya, dan semoga Allah menenpatkan para leluhur kami ditempat yang layak di sisi–Nya.


DRS. H. GUSTI MULIA
Versi cetak diterbitkan Borneo Tribune tanggal 13 Juli 2007

Oleh: Dr. Hermansyah, SH.MHum


MEMAHAMI KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT UU NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PERKEBUNAN DAN UU NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DALAM PRESPEKTIF HUKUM TATA NEGARA
 SERTA IMPLIKASINYA DALAM REGULASI
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM*


* Makalah disajikan dalam seminar Publik “Membumikan Keputusan Mahkamah Konstitusi Tentang Undang-Undang Perkebunan Dan Kehutanan Dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam Untuk Kehidupan Rakyat Dan Lingkungan Hidup Di Kalimantan Barat”, 9 April 2012 Di Hotel Merpati Pontianak.
A.      Pendahuluan:
Sejak hadirnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Mahkamah Konstitusi sudah menjadi salah satu tumpuan masyarakat atau rakyat untuk mengadukan akan ketidakadilan yang sering muncul dalam kehidupan hukum di indonesia. Ketidakadilan yang selalu menyertai ketika suatu produk hukum di lahirkan oleh lembaga legislatif dan eksekutif, dan yang menjadi patokan dan pedoman dalam menentukan ketidakadilan selalu mendasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 sebagai batu uji persoalan tersebut di atas. Sudah banyak peraturan perundang-undangan yang dibatalkan, baik untuk keseluruhannya, hanya pasal tertentu atau kata-kata tertentu yang ada dalam suatu undang-undang karena dinilai bertentangan dengan substansi undang-undang dasar 1945.
Tidak jarang keputusan yang dikeluarkan dinilai oleh banyak kalangan dinilai aneh, kontroversi disamping sesuai dengan kehendak masyarakat pada umumnya, dan keputusan Mahkamah Konstitusi memiliki implikasi yang besar dan fundamental dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, dan jika putusan mahkamah konstitusi ini tidak mendapatkan perhatian dengan seksama oleh para pihak, terutama kalangan eksekutif maupun legislatif, maka persoalan yang menjadi konsen putusan Mahkamah Konstitusi bisa menjadi pelik dalam kehidupan.
Makalah singkat dan sederhana ini bertujuan melihat bagaimana implikasi putusan Mahkamah Konstitusi, terutama dalam bidang pengelolaan sumber daya alam, berkenaan dengan telah diputuskannya uji materi terhadap dua undang-undang yang secara langsung berhubungan dengan sumber daya alam, yaitu putusan terhadap UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan Dan UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Mahkamah Konstitusi (MK)  merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.[1] Keberadaan MK di dalam kekuasaan kehakiman adalah sebagai penjaga konstitusi (the quardian of the constitution atau waakhond van de grondwet), yang diberikan oleh UUD NRI 1945 untuk menyelesaikan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional[2].
MK mempunyai kewenangan sebagaimana dalam Pasal 24C ayat (1) Amandemen ketiga UUD NRI 1945 yang berbunyi :Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada  tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selain keempat kewenangan tersebut, MK juga mempunyai satu kewajiban untuk memeriksa, mengadili dan memutus terhadap pendapat DPR mengenai dugaan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 24C ayat (2) Amandemen ketiga UUD NRI 1945, yaitu "Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar".
Kewenangan dan kewajiban MK ini didasarkan atas gagasan check and balance dalam bentuk control judicial yang dilakukan oleh MK, karena salah satu dari asas negara hukum (rechtstaad) adalah  adanya peran peradilan yang bebas dan tidak memihak untuk memberikan putusan terhadap segala kasus hukum yang terjadi di dalam suatu negara. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara hukum harus menyelesaikan segala persoalan hukum melalui proses hukum, termasuk proses impeachment[3] Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Berdasarkan kelima bentuk putuasan MK tersebut, hanya empat yang berkekuatan hukum mengikat dan secara serta merta langsung dapat dilaksanakan sejak putusan MK telah dinyatakan in kracht van gewijsde tanpa menunggu lagi keputusan dari lembaga negara lainnya. Sedangkan “Putusan” MK tentang adanya dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau oleh Wakil Presiden adalah tidak berkekuatan hukum mengikat, sehingga “Putusan” MK ini masih belum bisa dilaksanakan. [4]
Hukum acara MK mengenal beberapa prinsip putusan yang membedakan Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung yang sama-sama melaksanakan fungsi peradilan, yaitu asas putusan yang bersifat final dan Asas putusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat (erga omnes). Di samping itu, putusan Mahkamah Konstitusi juga bersifat Prospektif.
Putusan bersifat final, artinya putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lagi yang dapat ditempuh[5]. Sedangkan pengertian mempunyai kekuatan hukum mengikat (erga omnes) adalah putusan yang akibat hukumnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Putusan MK bersifat erga omnes mengikat secara obligatoir bagi seluruh organ negara, baik tingkat pusat dan daerah serta semua otoritas lainnya.[6] Sedangkan putusan MK bersifat prospektif dimaksudkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut tetapi diberlakukan kedepan sejak putusan tersebut dibuat.
B.      Implikasi Putusan MK terhadap UU 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Salah satu putusan yang kiranya penting untuk mendapatkan perhatian adalah putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dikatakan penting karena putusan Mahkamah Konstitusi ini menyangkut kelangsungan pengelolaan sumber daya alam (perkebunan) dan kehutanan di Indonesia.
Seperti telah diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi pada hari Senin, 19 Sept 2011
Telah mengeluarkan putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010 yang substansi dasar dari putusn tersebut telah membatalkan pasal 21 and 47 Undang-Undang Perkebunan No.18 Tahun 2004, karena dinilai bertentangan dengan pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945. Pasal tersebut merupakan pasal atau ketentuan pidana yang ada pada UU No. 18 Tahun 2004, yang dalam prakteknya telah menjadi pasal yang ampuh bagi aparat penegak hukum dalam melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang melakukan aktivitas disekitar perkebunan.
Dalam uji materi pasal 21 jo pasal 47 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, penulis diminta oleh pemohon (PILNET) untuk hadir dalam persidangan dalam kapasitas sebagai ahli guna memberikan keterangan bagaimana sesungguhnya posisi pasal pasal 21 jo pasal 47 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan terhadap pasal 18 B UUD 1945.
Dalam memberikan keterangan selaku ahli dalam uji materi tersebut, penulis katakan bahwa kebijakan formulasi pasal 21 jo pasal 47 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan menurut penulis keliru, kekeliruan yang diperlihatkan akan bahwa persoalan yang muncul dilapangan, terutama antara masyarakat dengan pihak perusahaan, merupakan klaim hak yaitu hak yang berasal dari negara dengan hak yang secara antropologis sudah ada pada masyarakat yang ada disekitar hutan yang akan dibukan menjadi lahan perkebenunan, apalagi jika dihubungan dengan keberadaan pasal 18 B UUD 1945 yang telah memberikan pengakuan konstitusional bagi masyarakat adat dengan segala kearifan yang ada, dan menurut penulis hukum dan hak milik adat adalah salah satu kearifan yang ada dalam masyarakat adat, yang memiliki karakteristik khas yang berbeda dengan hukum negara. Dan menurut penulis, dengan masuknya pasal 18 B sebagai hasil amandemen UUD 1945, negara indonesia sacara sadar sudah masuk dalam pluralisme hukum.
Dengan kerangka berfikir tersebutlah penulis katakan bahwa persoalan yang terjadi antara pihak perusahaan dengan masyarakat pada dasarnya merupakan klaim hak antar perusahaan yang memperoleh hak dari negara dengan masyarakat yang memperoleh hak secara defakto antropologis, dan klaim antara hak ini tidak bisa diselesaikan dengan hukum pidana. Karena menurut penulis, hukum pidana baru masuk dan mengambil bagian dalam menyelesaikan persoalan jika kejelasan akan hak sudah ada.
Berkenaan dengan implikasi putusan MK terhadap UU Perkebunan tersebut, sesungguhnya hanya menyangkut keberadaan mereka-mereka yang oleh aparat penegak hukum diperiksa berkenaan dengan pelanggara pasal 21 jo. 47 UU Perkebunan tersebut, dimana pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 manyatakan bahwa: “Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”.[7] Sedangkan pasal 47  menyatakan bahwa:
a.       “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”;
b.       “Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah)”;

Pertanyaan yang muncul berkenaan dengan implikasi dibatalkannya pasal 21 jo. 47 UU No. 18 tahun 2004 adalah bagaimana status hukum masyarakat yang telah ditahan, diperiksa atau yang sudah dihukum baik sebelum maupun sesudah tanggal 19 Sept 2011, terhadap hal ini kiranya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah:
1.       Bahwa semua kasus yang telah diputus oleh pengadilan dan sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka terhadapnya tetap harus menghormati putusan peradilan umum tersebut, hal ini dikarenakan putusan mahkamah konstitusi tidak berlaku surut, artinya setelah tanggal tersebut, maka orang/masyarakat tidak lagi dapat dikenakan pasal 21 jo. 47 UU No. 18 Tahun 2004.
2.       Lalu bagaimana kemudian terhadap kasus dimana sampai dengan tanggal tersebut bulan juga memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap ini ada beberapa hal:
a.     Jika kasus tersebut masih diperiksa oleh pihak Kepolisian maupun Kejaksaan/Penuntut Umum, dan belum dilimpahkan ke Pengadilan, maka terhadap kasus tersebut harus dihentikan karena landasan atau pijakan hukum yang menjadi dasar diperiksanya masyarakat dinyatakan tidak berlaku lagi. Dasar penghentiannya adalah dihentikannya proses penyidikan.
b.     Lalu bagaimana jika kasus tersebut sudah di pengadilan, maka sesuai dengan prinsip putusan Mahkamah Konstitusi yang obligatoir, maka pihak pengadilan umum harus menghormati putusan MK tersebut dengan memberikan putusan melepaskan tuntutan, karena perbuatan tersebut bukan lagi perbuatan pidana, jika tentunya yang dijadikan dasar penuntutannya adalah pasal 21 jo. 47 UU No. 18 Tahun 2004.
C.          Implikasi Putusan MK Putusan MK terhadap UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Berkenaan dengan uji materi Pasal 1 angka 3, Undang-Undang No 41/1999 tentang Kehutanan, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan dua hal penting, yaitu pertama berkenaan dengan kata “ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 1 angka 3, MK menilai keberadaan pasal tersebut, terutama kata-kata “ ditunjuk dan atau ditetapkan” bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kedua, meskipun Pasal 1 angka 3 dan Pasal 81 Undang-Undang No 41/1999 menggunakan kalimat “ditunjuk dan atau ditetapkan”, namun berlakunya untuk yang “ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 81 tersebut tetap sah dan mengikat.[8]
Berkenaan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, kiranya ada beberapa implikasi hukum yang kiranya perlu dipahami dengan baik, yaitu antara lain:
1.       Sesuai dengan sifat putusan Mahkamah Konstitusi, terutama asas atau prinsip prospektif,[9] maka putusan kiranya putusan MK tersebut dapat dipahami bahwa seluruh kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan sebelum berlakunya Undang-undang No 41/1999 tetap sah dan mengikat. Namun, sejak Putusan MK dibacakan yaitu sejak tanggal 21 Februari 2012, kawasan hutan negara dapat dinyatakan sah hanya apabila telah dilaksanakan penetapan kawasan hutan sesuai Pasal 15  Undang-undang No 41/1999.[10]
2.       Putusan MK ini juga memperlihatkan dan memperhatikan keberadaan hak perseorangan ataupun hak adat/ulayat dalam penetapan kawasan menjadi kawasan hutan. antara lain memperhatikan kemungkinan adanya hak-hak perseorangan atau hak pertuanan (ulayat) yang sudah lama ada. Putusan ini jelas memperlihatkan upaya MK memberikan perlindungan kepada hak perseorangan ataupun hak adat, dan ini jelas sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 D UUD 1945.[11] Bentuk perlindungan hukum terhadap hak perseorangan dan atau hak ulayat/adat ini bisa dilihat dari implikasi putusan tersebut bahwa jika dalam pemetaan dan penetapan batas kawasan hutan ternyata terdapat adanya hak perseorangan dan hak adat/ulayat maka mereka harus dikeluarkan dari arela penetapan kawasan hutan tersebut.
3.       Karena sifanya putusan dari Mahkamah mempunyai kekuatan hukum mengikat (erga omnes), maka  putusan MK yang bersifat erga omnes tersebut mengikat secara obligatoir bagi seluruh organ negara, baik tingkat pusat dan daerah serta semua otoritas lainnya. Ini berarti berimplikasi kepada penataan ruang sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007  tentang Penataan Ruang, terutama jika dalam penetapan pola ruang, hal ini penting untuk diperhatikan karena jangan sampai penentuan dan penetapan pola ruang, bersentuhan dengan hak perseorangan ataupun hak ulayat.  Bahkan kiranya dapat dikatakan apa yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, terutama yang menyangkut tata guna hutan kesepakatan (RGHK) dinilai belum definitif tetapi sifatnya indikatif, karena apa yang telah ditetapkan ternyata tidak memperhatikan hak perseorangan dan hak adat/ulayat.
4.       Dengan dikeluarkannya keputusan MK tersebut kiranya menjadi kewajiban bagi Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota, Desa atau LSM untuk melakukan inventarisasi terkait keberadaan masyarakat adat/lokal, perkembangan desa, migrasi penduduk, mobilisasi masa yang menduduki kawasan hutan, serta berbagai jenis ijin maupun hak guna usaha sebagai bahan percepatan pengukuhan kawasan hutan.



----------- ooOoo ------------


[1] Pasal 1 angka 1 UU MK
[2] Pasal 51 ayat (1) UU MK
[3]Impeachment adalah pemanggilan atau pendakwaan untuk meminta pertanggungjawaban atas persangkaan pelanggaran hukum yang dilakukan dalam masa jabatannya (Abdul Rosyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 453).
[4] Pasal 57 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) , Pasal 73 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 77 ayat (3), dan Pasal 83 ayat (2) UU MK UU MK
[5] Pasal 24C ayat (1) Amandemen ketiga UUD NRI 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) beserta penjelasannya dan Pasal 47 UU MK
[6] Abdul Rasyid Thalib, , hlm. 55
[7] Penjelasan Pasal 21 UU 18/2004 menyatakan: “Yang dimaksud dengan tindakan yang mengakibatkan pada kerusakan kebun adalah suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan pada tanaman, antara lain, penebangan pohon, panen paksa, atau pembakaran sehingga kebun tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.Yang dimaksud dengan penggunaan tanah perkebunan tanpa izin adalah tindakan okupasi tanah tanpa seizin pemilik hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan tindakan lain yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan adalah, antara lain, tindakan yang mengganggu pekerja sehingga tidak dapat melakukan panen atau pemeliharaan kebun sebagaimana mestinya”;
[8] Pasal 81 Undang-Undang No 41/1999: "Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini."
[9] Prinsip prospektif dari putusan mahkamah konstitusi bisa dilihat dalam Pasal 47 Undang-undang No 24/2003 jo No 8/2011 tentang Mahkamah Konstitusi
[10] Berkenaan dengan hal ini Pendapat MK sebagaimana tertera dalam putusannya [3.12.2] mengatakan bahwa: Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan discretionary powers. Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan.
[11] Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.