Selamat Datang

Selamat Datang
Lumayan

Cari Blog Ini

Kamis, 19 Agustus 2010

UU Korupsi Celah Efektif Jerat Pelaku IL

Jumat, 11 April 2008

UU Korupsi Celah Efektif Jerat Pelaku IL
Pontianak, Equator

Celah hukum menjerat pelaku illegal logging harus ditarik dari sisi praktik korupsi. Apalgi tidak sedikit illegal logger lolos dari jeratan hukum lantaran aparat penegak dinilai kurang jeli dalam menerapkan jejaring aturan perundang-undangan.

Pendapat itu disampaikan, anggota Badan Pekerja Kontak Rakyat Borneo, Salman kepada Equator, Minggu (10/2) kemarin.

”Hasil ratifikasi UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memasukkan korupsi sektor swasta karena secara umum telah merugikan perekonomian negara,” jelas Salman.

Alasan lain disampaikan Salman, pelaku pembalakan liar berupaya memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi secara melawan hukum yang dapat merugikan negara dan perekonomian negara dan/atau memberikan sesuatu atau janji terhadap pegawai pejabat (pejabat negara). ”Ini diatur dalam pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” terangnya lagi seraya menambahkan aturan itu juga berlaku kepada oknum penyelenggara negara yang menerbitkan izin.

Menurutnya, selama ini penegakan hukum hanya mampu menjerat pelaku di lapangan seperti para penebang, pengangkut, pengumpul. ”Sedangkan para pemilik modal beserta pejabat yang mengeluarkan izin sama sekali tidak tersentuh hukum sehingga praktik pembalakan liar pun terus berlangsung,” ujarnya.

Dalam kajian Kontak Rakyat Borneo, praktik pembalakan liar menyebabkan kerugian negara yang cukup besar. Katakan itu berupa pajak maupun retribusi yang seharusnya masuk ke kas negara tapi malah masuk ke kantong pribadi pengusaha atau oknum pejabat negara. Contoh kasus, tunggakan dana PSDH/DR dalam perkara yang melibatkan TW sebagai tersangka, diprediksi kerugian negara Rp 4,8 miliar.

”Sejatinya, praktik pembalakan liar tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Ini melibatkan oknum-oknum yang melegalkan atau memberikan izin untuk melegalkan perbuatan pidana itu,” tukasnya.

Penyelenggara dapat dijerat tindak pidana korupsi, menurut Salman, karena beberapa hal di antaranya upaya menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001. ”Sedangkan pada pasal 5 yaitu menerima sesuatu atau janji (suap) sebagai akibat perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya atau dalam jabatannya,” paparnya.

Sementara dalam hal pelaku pembalakan liar memberikan sesuatu atau janji (suap) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara terkait izin atau jaminan keamanan atau jaminan hukum atas aktivitasnya dalam melaksanakan praktik pembalakan liar, pelaku dapat dikenai pasal 5 ayat 1 UU itu. Menurutnya, ada beberapa kelebihan apabila pelaku pembalakan liar dijerat dengan delik korupsi, di antaranya soal ancaman pidananya yang lebih berat. Dalam UU tersebut mengatur adanya ancaman maksimal seumur hidup. Bahkan dalam keadaan tertentu dapat diancam hukuman mati. Sedangkan dalam UU Kehutanan, ancaman maksimal yang dapat dikenakan hanya 15 tahun penjara. ”Selain itu, UU Korupsi mengatur adanya ancaman minimal 1 tahun, sedangkan UU Kehutanan tidak mengatur ancaman pidana minimal. Jika ini dapat diterapkan, akan ada efek jera bagi pelaku pembalakan liar,” tandasnya.

Sementara, Koordinator Komunitas Pemantau Peradilan Kalbar (Komppak), Firanda SH mengatakan kelemahan utama dalam penegakan hukum pembalakan liar baik yang dijerat dengan delik korupsi atau kejahatan kehutanan dan lingkungan sudah dimulai sejak proses penyelidikan, penyidikan hingga akhirnya penyusunan dakwaan dan penuntutan. ”Padahal itu adalah hal utama untuk menjerat pelaku pidana pembalakan liar. Namun dalam persidangan selalu saja ada kelemahan dari dakwaan jaksa sehingga hakim memutuskan ringan atau bahkan bebas karena banyak unsur tak terpenuhi dalam dakwaan,” ujarnya.

Hal itu menurutnya telah dibuktikan dari beberapa kali eksaminasi perkara kehutanan yang divonis ringan atau bebas oleh beberapa Non Governance Organization (NGO). ”Pihak penyidik terutama jaksa seakan melupakan beberapa hal yang sebenarnya itu penting untuk dapat menjerat pelaku. Bisa saja karena keterbatasan kemampuan sumber daya manusia atau bahkan ada unsur kesengajaan. Namun itu baru dugaan, mudah-mudahan penegak hukum kita lebih objektif dan benar-benar menjadikan hukum sebagai panglima,” sindirnya. (her)http://herimustari.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar