Selamat Datang

Selamat Datang
Lumayan

Cari Blog Ini

Rabu, 18 Agustus 2010

"Sedihnya Nasib Petani"

"Sedihnya Nasib Petani"
oleh Kontak Rakyat Borneo pada 11 Juni 2010 jam 20:49
(I)
Siang itu, 3 juni 2010. kami berbondong bondong menuju lapangan pesawat Supadio, setelah cek tiket dan masuk ruangan sambil membayar passanger servis charge sejumlah 30.000, sementara harga tiket 359.000,00. Menunggulah kami di ruang tunggu, kemudian jarum jam menunjukkan 15:30 wib, pesawat yang kami tumpangi telah datang di lapangan pesawat, kami bergegas menuju mobil yang mengantar menuju pesawat KAL..,

Di atas udara tampak rimbunan pohon yang kini berkurang, kelihatan petak-petak perkebunan di bawah, luas sekali, menurut temanku satu petak perkebunan seluas 150 ha, Namun kalau dilihat dari atas kelihatan kecil sekali, terlihat juga kelokkan alur sungai dengan kapal-kapalnya, bukit-bukit yang hijau namun sanksi saya bahwa masih ada kayu-kayu yang berdia meter besar di bukit tersebut. Rasanya sangat menyenangkan melihat kampung halaman dari atas udara serta menyaksikan awan-awan putih di samping kita.

Saat senja pesawat yang kami tumpangi telah sampai di kabupaten ketapang, di bandara Rahadi Usman tempat tujuan, disana hanya ada dua pesawat yang berangkat dari Pontianak menuju ke ketapang, keluarlah semua penumpang dari pesawat termasuk kami, jumlah penumpang di perkirakan 30 orang kurang lebih. Taxsi yang kami tumpangi menuju ke tempat tujuan MES FFI kota kayong, beramah tamahlah kami dengan kawan-kawan FFI yang direkturnya Bung Heppy Hendrawan, setelah itu kita beristirahat terlelap oleh suasana dan suhu dingin saat malam menidurkan kita dalam keletihan dan tujuan.

(II)
Pagi jarum jam menunjukkan 7:30 pagi, expedisi keluar kota akan dilakukan, setelah persiapan selesai serta sarapan pagi “Ketupat Colet” di warung Ibu Rakiman, di depan Masjid Al-Iklas ketapang, kami berkendaraan motor 3 buah(fir, edy boy, mahfud, dedy, tris) menuju arah kecamatan Matan Hilir Selatan, tepatnya di desa Pematang gadong, sekitar 30 Kilo arah keluar kota kayong,

Sepanjang perjalanan kami melalui jalan beraspal, kemudian kami menyisiri galian jumbo(parit galian) yang dulunya akan di rencanakan sebagai tempat penyuplai air minum kota ketapang, rencana ini sudah di mulai sejak tahun 1997, namun gagal terwujud yang katanya akibat pertambangan peti dan perluasan perkebunan sawit yang membuat air baku minuman tercemar limbah dan kotor. Sekitar jam 10:00 pagi kami telah sampai didesa tujuan yaitu desa pematang gadong.

Berkendaraan di jalan tanah dan berlumpur kami memasuki kawasan pertanian masyarakat yang berada di perladangan, ku lihat ada beberapa penduduk sibuk memanen padi, memetik bulir padi, memotong batang padi, menumpuk padi, ada yang memikul padi, kamipun sampai di gubuk padi tempat beristirahat para petani di ladang, sambil melepaskan lelah dan di suguhkan air putih penghilang dahaga si pemilik gubuk.

Pemilik gubuk ini bernama Pak Rahman(54)tinggal didesa pematang gadong, pekerjaaannya petani, mempunyai 5 orang anak, lelaki sederhana ini selalu tersenyum serta bercerita tentang panen padinya yang gagal, dulu biasanya mendapat banyak padi sekarang tidak lagi, ia mempunyai sawah seluas 4 hektar, namun akibat gagal panen tahun lalu serta biaya pengolahan sawah yang mahal, akhirnya sekitar 2 hektar di pinjamkan kepada petani padi sekampungnya.

(III)
Didalam gubuk yang terbuat dari kepingan papan seadanya, ditambah terpal plastic, dengan tiangnya berupa balok kecil kayu dan beratapkan daun nifah yang disusun memanjang, kami bersama duduk berbincang-bincang, tentang panen padi tahun ini, tentang kehidupan bapak rahman, tentang keadaan kampung, namun yang menyayat hatiku ada sebuah ungkapan perasaan darinya mengetuk pintu hati dan perasaanku,

Aku” bagaimana panen tahun ini pak ?
Rahman” Gagal nak, tidak seperti dahulu yang panen padinya melimpah, namun sekarang sedikit saja, panen ini tak mampu menghidupi makan kami satu tahun” ungkapnya sedih.
Aku”apa penyebabnya gagal panen tahun ini pak?’
Rahman” Karena tanaman padi tak tahan dengan air, disini selalu banjir kalau hujan, atau banjir karena kiriman dari hulu sana, air juga sudah tercemar penambang emas dan hutan kami telah rusak, inilah yang terjadi”ungkapnya.

Aku” lalu bagaimana pak, usaha berikutnya untuk mencukupi beras di rumah ?
Rahman” Terpaksalah mengambil upah di kampung tetangga, terutama di desa Sungai besar, membantu memetik padi, kami akan di bayar juga dengan padi, Namun saya merasa malu juga mengambil upah di kampung tetangga, seolah-olah kami ini kurang giat menanam padi dan malas bekerja, padahal apalagilah, usaha kami menanam padi gagal, malu rasanya kami sekampung dengan kampung tetangga.”

Pilu juga hatiku mendengar ucapannya, mereka bukanlah orang-orang malas, setiap hari mereka bekerja di sawah, lain waktu pergi kelaut atau memancing untuk menambah lauk pauk mereka, bahkan hampir satu keluarga, dari suami, istri dan anak-anak mereka kerahkan untuk menopang kehidupan keluarga mereka, namun apa yang di harapkan dengan kondisi seperti ini.
Aku” lalu bagai mana dengan penyuluh pertanian apa yang di katakannya ?.
Rahman” Kata bapak penyuluh pertanian ini adalah kondisi alam yang terjadi, jadi tak ada upaya lagi selain pasrah dan mengganti tanaman”

Kulihat raut kesusahan dan ketidak berdayaan menghadapi nasib, Seakan alam sudah tidak mempunyai belas kasih atau kita yang tidak pandai menghadapi alam yang telah berubah, ngobrolah kami sampai larut dan mentaripun kini telah siang, berpamitanlah kami pada bapak rahman tersebut untuk pulang ke kota kayong.

(IIII)
Dalam perjalanan pulang, ada keresahan yang dapat ku tangkap di wilayah Kecamatan matan hilir selatan atau sebagian petani yang ada di pesisir kabupaten ketapang akibat maraknya perkebunan sawit dan pertambangan yang mengakibatkan banjir di wilayah pesisir dan serta air asin yang masuk kepetak ladang-ladang masyarakat yang dulunya menjadi lumbung padi masyarakat ketapang.

Kemana penguasa selama ini, tidaklah mereka melihat kenyataan masyarakat yang kehilangan pekerjaan sebagai petani, hilangnya budaya agraris yang tertanam sejak dahulu di wariskan nenek moyang mereka, kemudian kemana masyarakat kota kayong mendapatkan beras untuk di makan.
Melalui pesisir pantai kami melintas sambil mendengarkan suara ombak lautan yang menghantam tepian pantai, mengejar malam yang akan membawa kami terlelap dalam tidur penuh tanda Tanya.

Penilis
Firanda
(Kontak Rakyat Borneo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar