Selamat Datang

Selamat Datang
Lumayan

Cari Blog Ini

Kamis, 19 Agustus 2010

Implementasi Inpres 4/2005 Menggantung

Jumat, 11 April 2008

Implementasi Inpres 4/2005 Menggantung

MEMASUKI tahun ketiga reformasi atau tepatnya akhir 2000, persoalan illegal logging (IL) tiba-tiba mencuat bagai ‘virus’ yang menakutkan dalam pembangunan sumber daya hutan.

Hingga hari ini istilah IL begitu gencar terdengar, tidak saja secara lokal di beberapa daerah seperti Kalbar, Jambi, Riau dan Papua, namun juga secara nasional. Yang jadi persoalan utama praktik IL di tingkat masyarakat adalah tidak seimbangnya antara eksploitasi sumber daya alam dengan distribusi hasil.

“Yang terjadi kemudian adalah tak jarang para cukong justru dianggap sebagai pahlawan pembangunan daerah karena berkontribusi nyata terhadap peningkatan kesejahteraan. Pangkal utama maraknya IL ini disebabkan karena hutan semata-mata hanya dipandang dari perspektif ekonomi semata,” kata Happy Hendrawan, Pelaksana Harian Konsorsium Anti Illegal Logging (KAIL) kepada Equator belum lama ini.

Padahal kata Happy, hal lain yang sebenarnya menjadi persoalan utama adalah memandang hutan dalam kerangka perspektif sosial-budaya, keberlangsungan ekosistem, teritorial negara dan wilayah penyangga lingkungan sekitar cenderung dinafikan. “Namun, penyikapan serius terhadap praktik IL lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa dampak yang diakibatkan begitu dahsyat,” ujarnya.

Terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Indonesia pada 18 Maret 2005 lalu, menurutnya terasa sangat menyejukkan. Terlepas dari lebih dan kurangnya, setidaknya niat dan tekad bagi upaya penegakan hukum begitu kuat melekat di tubuh pemerintah. Persoalannya kemudian, Inpres ini hanya akan menjadi sebuah instruksi tanpa makna jika dalam pelaksanaannya instansi-instansi terkait tetap menyandarkan diri pada prinsip lama yang dianut yang cenderung menguntungkan diri atau kelompoknya dalam suatu instansi.

“Pencermatan terhadap kinerja, bahkan pola laku dan pola pikir para pihak dalam penegakan hukum dan pengambil kebijakan pembangunan sumber daya hutan sangat penting mengingat kedua hal tersebut mencakup aspek-aspek kebijakan (regulasi), pencegahan, deteksi-monitoring dan pemberantasan,” celotehnya.

Menurutnya, secara umum, mandat yang ditegaskan di dalam Inpres tersebut agar para gubernur, bupati/wali kota dan instansi terkait dalam mengatasi persoalan IL masih jauh dari harapan publik. Ibarat pepatah, jauh panggang daripada api. Indikatornya, jika membedah APBN, APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota, misalnya, tidak terlihat adanya rancang bangun program yang sistematis, terarah, dan berorientasi menjawab persoalan-persoalan hukum, sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup secara memadai sebagai jawaban yang komprehensif terhadap persoalan IL. Kedua, belum tampak adanya regulasi yang mencoba menjawab bagaimana sikap dan kecerdasan pihak pemerintah dalam mengatasi masalah IL, sehingga daya dukung terhadap upaya pemberantasan dan penindakan menjadi tidak siginifikan. “Justru yang selalu didengungkan adalah kekhawatiran adanya gejolak sosial dan pengangguran,” tukasnya.

Sementara yang ketiga, kondisi ini diperparah dengan nyaris tidak berjalannya koordinasi dan komunikasi antarinstitusi seperti unit-unit pelaksana teknis (UPT) Departemen Kehutanan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah di antaranya Balai KSDA dan Balai Taman Nasional. “Sebagaimana diketahui, persoalan IL juga marak dilakukan di kawasan konservasi yang berstatus taman nasional. Konstitusi kita memandatkan bahwa pengelolaan taman nasional berada di bawah kewenangan pemerintah pusat melalui UPT yang ditempatkan di daerah. Tarik-menarik kewenangan dan adanya perasaan sebagai orang pusat di daerah juga membuat manajemen UPT kerap lalai berkoordinasi dengan Pemda dan jajarannya. Akibatnya, upaya mengatasi IL di kawasan taman nasional menjadi semakin sulit menemukan benang koordinasi dan komunikasinya,” paparnya.


***

Dalam kerangka Inpres Nomor 4/2005 menunjukkan, persepsi presiden terhadap masalah IL telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, sehingga, apabila dalam implementasinya tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka dapat dipersepsikan bahwa pemerintahan daerah juga telah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Selanjutnya, harus dikritisi dan dievaluasi kinerjanya. Kondisi ini tentu saja menjadi tanggung jawab presiden selaku kepala pemerintahan sebagai konsekuensi ketidakmampuannya menjalankan fungsi pemerintah dan menerapkan tata pemerintahan yang baik dan bersih dalam penyelenggaraan pemerintahan. Masalah penegakan hukum dan implementasi kebijakan pembangunan sumber daya hutan mau tidak mau dapat dijadikan indikator bagi kalangan penegak hukum dalam membangun kesadaran terhadap IL. “Hal itu patut menjadi tekanan karena praktik IL merupakan kejahatan yang sangat terorganisir, sistematis, dan karenanya melibatkan banyak pihak, termasuk di dalamnya beberapa oknum aparat pemerintah dan aparat penegak hukum sendiri,” tandasnya.

Bahkan menurutnya, tindak pidana IL juga sarat dengan unsur korupsi dan pencucian uang, sehingga aspek pemerintahan yang bersih menjadi salah satu isu sentral yang perlu dipromosikan dan dikritisi. Dengan demikian, perencanaan pembangunan sumber daya hutan dan upaya penegakan hukum ditantang untuk mampu dan mempunyai kewajiban moral mengungkap jaringan pelaku IL. “Jadi, upaya mengatasi masalah IL sesungguhnya merupakan upaya membangun kewibawaan pemerintah dalam menegakkan supremasi hukum merupakan sebuah proses pengujian sejauh mana kapasitas dan kompetensi penyelenggara pemerintahan (pusat dan daerah) dan segenap jajarannya di lapangan beserta aparat penegak hukum dalam membangun sinergi program, mengonsolidasikan segenap potensi sumber daya yang ada sehingga menjadi sebuah proses kepemimpinan yang efektif,” cetusnya.

Jika upaya perbaikan ini tidak terjadi di lapangan, maka jangan menyalahkan publik menilai bahwa aparat pemerintahan adalah bagian dari masalah, bukan bagian dari upaya pemecah masalah. Apabila hal ini tidak terjadi, maka sebenarnya kondisi pemerintahan, dalam konteks penanganan masalah IL, sudah dalam taraf ketidakmampuan dan ketidakberdayaan. “Kondisi ketidakberdayaan dalam penanganan masalah illegal logging tentunya akan menyebabkan dampak ikutan yakni krisis pembangunan sumber daya hutan akan semakin meluas bukan hanya pada lingkup kehutanan tetapi pada lingkup lainnya,” tandasnya.


***

Berdasarkan kondisi itu, lanjut Happy, lalu siapa sebenarnya yang diuntungkan dan dirugikan. Jika pertanyaannya siapa yang diuntungkan, maka dapat dipastikan hanya segilitir pihak saja yang menikmati keuntungan. Mereka adalah para pengusaha yang rakus dan tidak bertanggung jawab, para ‘makelar’ yang memobilisasi masyarakat atas nama periuk nasi, pemangku kebijakan yang menyimpang dan para beking.

Lalu di mana keuntungan masyarakat? Secara semu tampak masyarakat sebagai pelaku diuntungkan, namun sebenarnya mereka adalah korban. Keuntungan yang didapat lebih bersifat semu karena keuntungannya jangka pendek, selama kayu ada. Setelah itu, mereka hanya akan menuai dampak. Sebab belum ditemukan para pelaku yang berdomisili di sekitar hutan secara sosial ekonomi masuk dalam kategori sejahtera. Belum ada ditemukan anak-anak pelaku yang memiliki jenjang pendidikan memadai dan bahkan pelayanan kebutuhan pokok masyarakat pelaku di sekitar areal sangat minim jika tidak dikatakan memprihatinkan seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, dan jalur transportasi “Beberapa tokoh mereka dalam sebuah kesempatan bahkan mengakui jika SDM mereka masih rendah,” tukasnya.

Dampak yang sangat terasa di kawasan praktik IL yang sebagian besar adalah masyarakat adat, struktur adat-budaya mereka mengalami degradasi. Kaidah-kaidah adat luntur, kewibawaan tokoh adat hampir tak bersisa, hubungan kekerabatan mengalami ketegangan, dan konflik horizontal tinggal lagi menunggu waktu. “Belum lagi rusaknya lingkungan tempat mereka tinggal,” terangnya.


***

Dari konteks lingkungan, beberapa fakta yang dapat diungkap dalam rentang empat tahun terakhir, luasan lahan kritis Kalbar dalam kawasan hutan telah bertambah menjadi 1.465.616 hektare, sehingga per tahun 2002 saja luasnya telah menjadi 4.784.824 hektare. Kebutuhan kapasitas kayu sepanjang tahun 2002 di Kalbar mencapai 4.989.562 meter kubik per tahun, sedangkan pemenuhannya selama lima tahun terakhir rata-rata hanya 1.460.969 meter kubik kayu olahan per tahun atau 48,99 persen. “Pertanyaannya, dari mana sumber kayu untuk memenuhinya sehingga industri perkayuan bisa berlangsung. Inilah yang dikatakan didapat dari praktik ilegal.

Bila dilihat dari fakta yang ada, lanjut dia, mestinya pasokan memadai, namun yang terjadi sebagian besar justru mengalir ke negara tetangga melalui para cukong dari Malaysia. Praktik penyelundupan kayu ilegal ke Malaysia berdasarkan data terakhir KAIL setidaknya melalui 52 titik jalur darat dan air termasuk jalur tikus dengan daerah utamanya pelabuhan Sematan dan Bintulu di Sarawak.

Sementara hasil studi WWF pada 2003, dalam lima tahun terakhir setidaknya 2.150.609 meter kubik kayu hasil praktik IL menyuplai kebutuhan industri kayu legal di Kalbar dan 1.000.000 meter kubik per tahun diselundupkan ke luar daerah dan luar negeri.

“Berdasarkan data-data tersebut, dari Entikong dan Badau saja, dalam dua tahun kerugian negara sebesar mencapai Rp 289 miliar baik dari Provisi Sumber Daya Hutan, Dana Reboisasi dan Pajak Ekspor. Sebab ternyata dari data tersebut, penghasilan Kalbar dari sektor hutan di bawah 10 persen. Artinya telah terjadi pemborosan hasil hutan hanya untuk kepentingan segelintir orang saja. Jika kemudian kalangan industri mengeluhkan minimnya pasokan, ketika upaya penegakan hukum dikumandangkan, semestinya mereka bercermin diri,” ucapnya.

Sedangkan secara nasional, kata Happy, dampak terhadap kerusakan hutan menurut data Departemen Kehutanan tahun 2003 sebesar 43 juta hektare dari total 120, 35 juta hektare luasan hutan Indonesia dengan laju kerusakan 2,1 juta hektare per tahun. Sedangkan data terakhir yang dapat di input adalah sebesar 3,8 juta hektare per tahun dengan kerugian negara sebesar Rp 83 triliun akibat IL.

Paparan itu kata Happy adalah dari sisi finansial. Dampak juga terjadi pada aspek sosial budaya karena hutan dari perspektif fungsi sosial budaya di masyarakat sangat erat keterkaitannya. Fungsi sosial budaya dapat dilihat dengan adanya keterkaitan baik moril maupun spiritual antara hutan dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, baik dalam hubungannya sebagai sumber mata pencarian, hubungan religius, hubungan adat dan sebagainya.

Berdasarkan pengalaman Happy di lapangan, fakta menunjukkan IL berdampak terhadap terjadinya konflik, baik hak atas hutan, kewenangan pengelolaan antara pusat-daerah dan masyarakat adat setempat. Konflik yang paling terasa adalah terjadinya degradasi nilai di masyarakat lokal dan adat, seperti perubahan perspektif dan perilaku masyarakat terhadap hutan yang dalam perspektif masyarakat adat hutan adalah ‘ibu yang memberi sumber kehidupan’. “Belum lagi dampak ekologis atau lingkungan, di mana bukti-bukti itu terwujud dengan terjadinya berbagai bencana alam seperti yang hingga hari ini terus terjadi seperti tanah longsor, banjir dan pencemaran sumber mata air,” jelasnya.

Problematika IL menurutnya tidak hanya pada lingkup persoalan kehutanan semata, namun telah merambah pada persoalan lain dalam tata sosial dan pemerintahan terkait dengan paradigma tata pemerintahan yang baik dan bersih. Karena IL tidak semata-mata masalah rebahnya tegakkan pohon ke tanah di sebuah kawasan, akibat tindakan orang yang tidak bertanggung jawab. Namun ada rentetan masalah yang melekat mulai dari hulu hingga hilir yang menyertainya. “Sehingga kemampuan pemerintah dalam penyelesaian persoalan IL menjadi sebuah keharusan tidak saja pada soal pembangunan sumber daya hutan, namun bagaimana pemanfaatan pembangunan sumber daya hutan dapat mengalir pada masyarakat,” ujar Happy. (heri mustari)http://herimustari.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar