Selamat Datang

Selamat Datang
Lumayan

Cari Blog Ini

Kamis, 19 Agustus 2010

Imbas Krusial Penetapan Hukum

Senin, 17 Mei 2010 , 08:28:00
Imbas Krusial Penetapan Hukum


Firanda SH. (FOTO Mahmudi/ Equator)
SUNGAI RAYA. Studi kasus 41 warga Desa Dabung Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya (KKR) menjadi tersangka, menjadi dilema ranah hukum hingga sekarang. Warga akhirnya minta bantuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta.

“Memang status 41 nelayan Dabung masih dijadikan tersangka. Namun sudah setahun lebih ini kasusnya mengambang, pihak kepolisian dalam penyidikanya dianggap kurang lengkap. Sehingga ketika kasus ini di P-19 (belum lengkap berkasnya, Red) selalu ditolak kejaksaan. Ini salah satu tanda memang persoalan ini mengambang,” ungkap Firanda SH, pembela hukum dari Kontak Rakyat Borneo, Minggu (16/5).

Firanda menerangkan, kasus ini berawal saat masyarakat Desa Dabung Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya pada tahun 1991-1992 yang sebagian berprofesi sebagai nelayan, membuka tambak di wilayah bekas tebangan hutan areal kosong CV Agung Permai dan PT Hasil Rimba.

Kedua perusahaan pernah beroperasi 1981-1982 telah habis izin, sehingga di lokasi bekas perusahaan dibangun tambak kelompok masyarakat. Dalih warga, tambak itu berpotensi menciptakan lapangan pekerjaan dan menambah penghasilan masyarakat nelayan yang selama ini minim akan pendapatan di sector penangkapan perikanan laut.

Ternyata pertambakan masyarakat tersebut mampu menghasilkan perikanan dan udang yang berkualitas serta meningkatkan ekonomi masyarakat Desa Dabung. Sehingga tambak itu dapat dijadikan percontohan bagi masyarakat nelayan yang ada di Kalbar. Pada tahun 2003 Gubernur Kalbar kala itu (Usman Ja’far), bersama Bupati Pontianak (masa itu KKR belum terbentuk), Dinas Perikanan, Dinas Kehutanan, dan jajaran musaywarah pimpinan daerah (Muspida) berkunjung ke Desa Dabung dalam rangka panen raya tambak. Bahkan Gubernur Kalbar memberikan piagam penghargaan kepada petani tambak di Dabung.

Pada tahun 2000 keluarlah Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan dengan Nomor 259/Kpts-I/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Provinsi Kalimantan Barat, seluas 9.178.760 hektar.

Konsekuensi penunjukan kawasan Hutan Lindung berdasarkan Kepmen Menteri Kehutanan tahun 2000, masyarakat yang membuka tambak tahun 1991-1992 yang tambak itu ditetapkan secara hukum sebagai tersangka, atas penguasaan lahan Hutan Lindung.



Peristiwa Hukum.

Akhirnya 41 warga Desa Dabung dituntut hukum. Sesuai dengan hasil penyidikan yang di lakukan penyidik, mereka disangkakan dengan sangkaan perkara mengerjakan, menggunakan, menduduki kawasan hutan secara tidak sah, sebagaimana di maksud dalam pasal 50 ayat 3 huruf a jo pasal 78 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 (UU 41/1999) tentang Kehutanan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 41 warga, Berdasarkan keterangan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) masyarakat ditetapkan sebagai tersangka. Sejak 41 warga ditetapkan sebagai tersangka sampai sekarang tidak ada kejelasan atas proses hukum, sebagaimana lazimnya dibawa ke pengadilan atau dibebaskan dari segala tuntutan hukum yang dikeluarkan oleh pihak kepolisian.



Dasar hukum penetapan 41 warga itu, proses hukum terhadap masyarakat pada mulanya menjadi saksi tersangka, sebulan kemudian dijadikan tersangka. Kini telah ditetapkan pihak kepolisian (Polda Kalbar Ditreserse Kriminal yang tertuang dalam BAP) sejak tanggal 14 Mei 1999 sebagai tersangka.

“Sampai saat ini (kemarin, Red) sudah setahun kasus ini belum ada penetapan hukum terhadap 41 warga. Penetapan tersebut berupa apakah akan dimajukan ke perisidangan atau dibebaskan demi hukum,” keluh Firanda.

Dikatakannya berdasarkan ketentuan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), tersangka warga masyarakat perlu kejelasan status hukum yang menimpa mereka, melihat dari prosedur hukum acara pidana.

“Pada pasal 109 KUHAP, dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya,” jelas lulusan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura ini.

Sedangkan dalam hal penghentian tersebut pada ayat 2 dilakukan penyidik sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat 1 huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.

“Pasal 140 KUHAP, dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan,” kupas Firanda.



Dampak ketidakpastian hukum

Secara yuridis, proses hukum terhadap masyarakat ternyata tidak berjalan sebagaimana prosudur hukum, Masyarakat yang ditetapkan sebagai tersangka tidak berjalan sesuai ketentuan hukum Acara Pidana yang berlaku.

Ada dua hal dalam proses hukum yang harus dilakukan, pertama jika cukup bukti maka kasus tersebut dimajukan lebih lanjut pada pengadilan, kedua jika tidak cukup bukti maka dikeluarkan penetapan tidak bersalah demi hukum.

“Setelah setahun sejak penetapan tersangka, sampai sekarang belum ada kepastian hukum, upakah dituntut secara hukum atau dibebaskan demi hukum. Akibatnya masyarakat dalam status tak jelas, proses hukum tidak berjalan khususnya hukum acara pidana. Secara tidak langsung kepolisian telah melakukan pengingkaran terhadap ketentuan KUHAP yang berlaku,” ulas Firanda asal Ketapang ini.

Diterangkannya secara umum masyarakat mengalami ganguan psikologis (kejiwaaan) terhadap proses hukum yang tidak jelas. Apalagi status hukum masyarakat belum masih jadi tersangka berdasarkan BAP yang dibuat kepolisian, proses hukum yang dilakukan telah merugikan masyarakat.

“Bayangkan ketika A Latif A Rahman salah satu tersangka pada waktu di wawancara media elektronik dari Jakarta suaranya bergetar matanya berkaca-kaca. Orang awam mana tahu hukum, dia taunya jadi nelayan yang baik, eh rupanya pejabat pemerintah menduga merampas lahan negara. Kenapa perusahaan boleh sedangkan rakyatnya sendiri dianggap sampah,” kesal Firanda.

Betapa tertekannya atas status sebagai tersangka yang pada awalnya sebagai saksi tersangka tanpa sepengetahuan masyarakat. Batin masyarakat tidak tenang, tentram, dan perasaan was-was terhadap status hukum sebagai tersangka.

Secara sosiologis, tambah Firanda, cap tersangka yang di terima masyarakat yang telah di tetapkan tersangka selama setahun ini menimbulkan keresahan, khususnya warga Desa Dabung. Penetapan sebagai tersangka merupakan citra buruk bagi masyarakat, sehingga menggangu kehidupan social ketika bersosialisasi dengan warga desa lain.

“Ditambah lagi munculnya lagi dua suratkhabar terbitan Pontianak yang mengatakan masyarakat perusak Hutan Lindung, sangat menghina masyarakat. Kenapa pula kalau perusahaan yang melakukan itu, tidak dibilang perusak? Ternyata akibat proses hukum yang tidak benar, telah menciderai hak hukum masyarakat berupa keputusan dan kepastian hukum sesuai undang-undang yang berlaku,” tutur Firanda. (mud)http://www.equator-news.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar