Selamat Datang

Selamat Datang
Lumayan

Cari Blog Ini

Kamis, 19 Agustus 2010

‘Gajah-gajah’ Bertarung Klaim Berantas IL

‘Gajah-gajah’ Bertarung Klaim Berantas IL

Pohon-pohon Terus Bertumbangan

PERANG melawan Illegal Logging di Kalbar seakan tak pernah dimulai, para pihak yang dibebani tanggung jawab saling klaim dan jaga gengsi. Mereka ingin menjadi yang menonjol dan mengesampingkan yang lain, sehingga hutan terus berkurang dan masyarakat makin sengsara.

Koordinator Masyarakat Pemantau Peradilan Kalbar (Komppak), Firanda SH kepada Equator belum lama ini mengatakan perang terhadap IL di Indonesia dan khususnya di Kalbar ibarat pepatah, gajah bertarung semut terinjak-injak.

“Artinya hutan dan masyarakat yang akhirnya menjadi korban, baik kebijakan maupun berbagai jenis operasi oleh satu institusi atau gabungan,” kata Firanda.

Dikatakan alumni Fakultas Hukum Untan itu, fakta pertarungan hanyalah persoalan pengakuan, kekuasaan, lahan makan, gengsi, ego, diskomunikasi dan koordinasi, namun akibat pertarungan tersebut tidak disadari banyak pohon-pohon tumbang, tatanan sosial masyarakat di sekitar hutan hancur, sumber bahan pangan hancur, korban berjatuhan dan yang diuntungkan yaitu serigala, harimau, burung pemakan bangkai. Ternyata pertarungan itu merupakan rencana panjang yang dibuat pihak-pihak pengambil keuntungan dari pertikaian. “Sungguh tragis pertarungan itu sehingga berakibat ancaman bagi satu generasi dalam kehidupan di hutan tersebut,” tukasnya.

Pertarungan gajah menurut Firanda bisa sama ceritanya dengan penanganan berbagai kasus IL di Kalbar, sampai sekarang sangat sulit menuntaskan berbagai kasus pembalakan hutan skala besar terutama oleh perusahaan bidang perkayuan. Tiap kabupaten di Kalbar banyak menangani berbagai perkara IL. Banyak kasus yang ditangkap jajaran Dinas Kehutanan, Kepolisian, TNI dan masyarakat, menurutnya terganjal karena proses hukum di tingkat institusi hukum sehingga banyak perusahaan dan cukong yang lepas dari jerat hukum. Akibatnya adalah penderitaan rakyat. Butuh puluhan hingga ratusan tahun untuk mengembalikan kondisi hutan seperti sedia kala. “Beberapa kasus IL tumpang tindih. Dalam pelaksanaan tugas, tidak ada komitmen yang tegas dari pelaksana kebijakan berakibat hilangnya kepercayaan di antara institusi yang menangani perkara IL,” paparnya.

Hal itu menurutnya, diakibatkan oleh pergantian pimpinan baru yang punya visi beda, tidak efektifnya koordinasi antarinstansi dan aparat penegak hukum, komitmen yang sudah luntur, tertutupnya birokrasi. “Selain itu juga kurangnya pengawasan dari pusat, tidak ada sanksi tegas bagi pejabat yang menyalahgunakan jabatan mereka,” jelasnya.

***

Dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Indonesia, presiden mengamanatkan pada 18 instansi dalam upaya memberantas IL, baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota. “Namun fakta di lapangan tidak tampak koordinasi yang baik di antara tiap institusi,” jelas Firanda.

Ia mencontohkan penangkapan alat berat milik Bun Tia oleh Kodim Sintang dan kemudian dilepas kembali dengan alasan ada surat jalan dari Dirlantas Polda, Polda pun membenarkan dan cenderung menyalahkan Kodim yang menangkap tanpa ada pelanggaran yang jelas. Sementara Dinas Kehutanan Provinsi diam bahkan jajarannya diduga terlibat IL dengan terungkapnya kasus Nokan Lipung. “Belum lagi soal saling klaim siapa yang lebih berwenang menangkap kayu. Banyak lagi banyak lagi kasus-kasus yang mengungkap fakta kalau tidak ada koordinasi di lapangan antara institusi yang diberi mandat,” tukasnya.

Sesuai Inpres 4/2005, 18 instansi yang terkait dalam pemberantasan IL yakni Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum Dan Keamanan, Menteri Kehutanan, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perhubungan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara RI, Panglima TNI, Kepala Intelijen, para gubernur dan para bupati/wali kota.

Banyaknya institusi yang terlibat dalam menuntaskan kasus IL, seharusnya dapat lebih mudah menyelesaikan berbagai perkara IL secara komprehensif serta efektif dan mampu memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. “Namun berjalan hampir tiga tahun, Inpres tersebut seakan mandul dan tak menunjukkan perbaikan tata kelola kehutanan yang lebih baik,” tandasnya.


***

Pemprov melalui wakil gubernur sebagai ketua Tim Penanggulangan IL yang juga termasuk top manager di daerah harus mampu menjadi koordinator, fasilitator dan evaluator yang baik, karena jika tidak maka berakibat pada kesemerawutan koordinasi serta tumpang tindih wewenang. “Tentunya secara luas berdampak pada percepatan kerusakan hutan dan perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan. Selain itu, tatanan nilai berupa kearifan lokal akhirnya tercerabut dari akar budaya masyarakat,” tukasnya.

Dalam Inpres 4/2005, gubernur, bupati/wali kota memiliki wewenang untuk mencabut izin usaha industri pengelolaan kayu yang memanfaatkan kayu hasil dari aktivitas IL Selain itu juga bertanggung jawab untuk memberikan penyadaran masyarakat di sekitar hutan untuk tidak melakukan aktivitas IL dan mudah terbujuk rayu oleh mimpi-mimpi dari para cukong. “Namun di sisi lain juga pemerintah daerah memiliki tanggung jawab besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” bebernya.

Kekuatan politik dari kepala daerah, lanjut dia, diharapkan mampu menyuarakan keprihatinan terhadap pembalakan hutan mendorong serta memantapkan koordinasi hingga pada jajaran paling bawah, “Namun fakta selama ini sangat jarang sekali keputusan kepala daerah yang berpihak secara penuh pada pelestarian hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Malah yang terjadi justru izin untuk mengusahakan suatu areal dengan deposit kayu yang cukup tinggi dengan mudah keluar,” terangnya.


***

Saat ini menurut Firanda, peranan para pihak dengan satu tujuan bersama menanggulangi IL menjadi sebuah keharusan perlu ada upaya duduk satu meja antarsemua instansi yang terlibat. “Jangan hanya sekadar bicara, namun juga harus pada tataran pelaksanaannya,” ujar dia.

Rencana strategis upaya meningkatkan peran berbagai institusi dalam pelestarian hutan di antaranya dengan mengadakan operasi gabungan, membangun koordinasi dan saling pengertian di antara lembaga, memeroses pelaku IL khusus perusahaan kayu tujuan ekspor dan nasional yang terkadang lebih rakus berkedok izin yang dimiliki, menjaga tiap-tiap pintu keluar kayu dari darat dan laut, memberikan sanksi pidana dan administrasi, membuka industri pengolahan barang jadi dari hulu sampai ke hilir dengan bahan baku kayu. “Tentunya juga dengan melibatkan masyarakat dalam menjaga hutan dan melakukan upaya reboisasi bukan dengan pola Gerhan yang sekarang karena cenderung tak efektif dan mubazir,” ucapnya.


***

Dalam penyelesaian persoalan hukum IL sendiri harusnya hukum lebih berfungsi pada pemberian efek jera terhadap pelaku. Pengadilan merupakan lembaga yang tepat untuk membuktikan mereka bisa dihukum berat atau ringan atau bahkan bebas. “Pengadilan sebagai tolok ukur atas keberhasilan proses hukum juga proses kebijakan pemerintah pusat dan daerah, putusan juga tidak melanggar aturan hukum dan HAM bagi terdakwa,” tukasnya.

Penerapan hukuman berat terutama bagi perusahaan legal yang melakukan aktivitas ilegal haruslah maksimal dan jelas ada efek jera, sebab apa yang dilakukan terdakwa adalah sumber bencana alam secara global, merugikan keuangan negara, merusak nilai religius dan sumber pencarian masyarakat, hilangnya habitat bagi pendidikan. “Rusaknya tatanan sosial masyarakat dan kehilangan jati diri masyarakat itu sendiri,” ungkapnya.

Pernah satu waktu menurut Firanda, hakim memutuskan lebih tinggi dari tuntutan jaksa pada proses hukum pembalak hutan dari Malaysia di Pengadilan Negeri Kapuas Hulu. Putusan kontroversi tersebut membuat nama pengadilan menjadi harum. “Namun ternyata itu saja, sedangkan kasus lainnya dapat putusan ringan bahkan vonis bebas. Mudah-mudahan putusan tersebut tidak menjadi yang pertama dan terakhir, karena masih banyak agenda penyelesaian kasus yang masuk ke meja hakim,” paparnya.

Keprihatinan terhadap institusi pengadilan di kalangan masyarakat sudah semakin besar. Sementara persoalan pelik urusan kayu di tingkat bawah jadi makanan sehari-hari dari para penegak hukum, tidak polisinya, jaksanyanya, pengacaranya hingga pada putusan yang dibuat hakim. Namun masih ada secercah harapan untuk menyongsong hutan lestari. Selagi ada yang punya komitmen, selam itulah hukum akan tegak dan hutan akan terjaga. Secara bersama memperkecil perbedaan, menyatukan visi, misi menghadapi perusak hutan dan sekaligus memperbaiki kesejahteraan masyarakat. “Kesungguhan kesadaran jangan hanya slogan-slogan kampanye, kesadaran hanya milik masyarakat tetapi pejabat tidak, dosa besar yang diterima pejabat di mana telah mengangkat sumpah dan janji kepada bangsa, Tuhan dan masyarakat untuk selalu mengedepankan kepentingan rakyat dan negara. Penilaian bisa dilihat dari kinerja dan sudah saatnya masyarakat menentukan sikap, meminta hak dan melaksanakan kewajiban yang berimbang. Penguasa negara juga harus introspeksi mengenai tugas dan tanggung jawab mereka terhadap masyarakat,” pungkasnya. (heri mustari)http://herimustari.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar